Wangsa Isana
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di
zaman dahulu yaitu kerajaan Mataram kuno. Di dalam kerajaan mataram itu terdapat
sebuah wangsa yaitu disebut dengan wangsa Isana. Wangsa ini merupakan pembentuk
dari kerajaan Mataram kuno yang ada di Jawa Timur.
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap kerajaan itu berdiri maka ada
seorang pendiri dan pemimpin didalamnya. Wangsa Isana ini merupakan pendiri
dari kerajaan Mataram kuno yang ada di Jawa Timur. Yang merupakan perpindahan
kerajaan Mataram kuno yang ada di Jawa Tengah. Perpindahan ini terjadi karena
sebab-sebab tertentu seperti adanya bencana alam dan penyerangan dari kerajaan
lainnya.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana
sejarah berdirinya Wangsa Isana?
1.2.2
Bagaimana
proses perkembangan Wangsa Isana?
1.2.3
Bagaimana
proses keruntuhan Wangsa Isana?
1.3
Tujuan
1.3.1
Mengetahui
sejarah berdirinya Wangsa Isana;
1.3.2
Mengetahui
proses perkembangan Wangsa Isana;
1.3.3
Mengetahui proses
keruntuhan Wangsa Isana.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Berdirinya Wangsa Isana
Wangsa Isana adalah sebuah dinasti.
Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Istilah Wangsa Isana dijumpai di
dalam prasasti Pucangan, dibagian yang berbahasa sanskerta. Prasasti ini
dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041 M). Istilah kata
Isana berasal dari nama Sri Isanatungga atau Pu Sindok. Sri Isanatungga
mempunyai anak perempuan bernama Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Sri
Lokapala dan mempunyai anak bernama Makutawangsawardhana.
Seperti
yang dapat dilihat, dari silsilah tersebut maka pendiri Wangsa Isana adalah Pu
Sindok Sri Isanawikramma Dharmatunggadewa, karena ia masih anggota Wangsa
Sailendra. Akan tetapi, karena kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami
kehancuran karena letusan Gunung Merapi yang mahadahsyat, sehingga dalam
anggapan para pujangga hal itu dianggap sebagai pralaya, sesuai dengan landasan
kosmogonis kerajaan-kerajaan kuno haruslah dibangun kerajaan baru dengan wangsa
yang baru pula. Oleh karena itu, Pu Sindok yang membangun kembali kerajaan di
Jawa Timur, dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu Wangsa Isana.
Rupa-rupanya kerajaan yang baru itu tetap bernama Mataram.
Kedudukan
Pu Sindok dalam keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang dipermasalahkan.
Poebatjaraka berpendapat bahwa Pu Sindok adalah menantu Wawa, berdasarkan
prasasti Cunggrang yang menyebut bahwa sang
sidda dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji sri parameswari dyah kebi
(yang telah diperdewakan, Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari dyah Kebi). Namun Sutterheim
membantah pendapat tersebut, ia mengatakan bahwa raja Wawa tidak pernah
bergelar Rakaia tau Rakryan Wawa, tetapi Rakai Sumba atau Rakai Pangkaja dyah
Wawa dan kebi berarti nenek. Dengan kata lain Pu Sindok adalah cucu Daksa.
Wangsa Isana ini merupakan bentukan baru wangsa setelah terjadinya perpindahan
kerajaan dan sistem pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Menurut para ahli terjadinya
pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yaitu disebabkan oleh :
1) Menurut Ir. Y Zerman
Karena adanya bencana alam yang dahsyat
2) Menurut Prof. Veith
Jawa Timur memerdekakan diri dengan bukti Sindok bukan dari Wangsa
Sanjaya
3) Menurut Sutterheim dan Mocus
Adanya ancaman dari Sriwijaya
4) Menurut De Casparin
Karena faktor ekonomi, banyaknya pelabuhan internasional
2.2 Proses
Perkembangan Wangsa Isana
Silsilah Wangsa Isyana
dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga,
seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok.
Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru
sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.
Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja
ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan
pangeran Bali
bernama Sri Lokapala.
Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki
putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.
Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja
Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni
disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan
Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan
negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman
pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890–900–an).
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang
raja bernama Dharmawangsa Teguh, merupakan mertua sekaligus
kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat berpendapat bahwa
Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh
prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana
Dharmawangsa.
Dengan demikian, Dharmawangsa dapat
dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak
menyebutnya dengan pasti.
2.2.1 Keadaan Politik
a.
Struktur Birokrasi
Di dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan
kuno, raja (sri maharaja) ialah
penguasa tertinggi. Sesuai dengan landasan kosmogonis, raja ialah penjelmaan
dewa di dunia. Hal itu ternyata dari gelar abhiseka
dan puji-pujian kepada raja didalam pelbagai prasasti dan kitab-kitab susastra
Jawa kuno sejak raja Airlangga. Dari zaman Mataram Kuno hanya ada dua orang
raja yang bergelar abhiseka dengan
unsur tunggadewa, yaitu Bhujayotunggadewa di dalam prasasti dari candi Plaosan
Lor dan Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa.
Seorang raja harus berpegang teguh kepada dharma, bersikap adil, menghukum yang
bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa (wnang wigraha anugraha), bijaksana,
tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak-gejolak di rakyatnya,
berusaha agar rakyat senatiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat
memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.
b. Sistem
Hukum
Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintah
daerah yang lain adalah denda-denda yang dikenakan atas segala macam tindak
pidana. Di dalam prasasti-prasati disebut sukha
duhka, yang di dalam naskah-naskah hukum disebut hala hayu, denda-denda itu
didalam prasasti juga disebut drawya haji. Keterangan yang terperinci mengenai tindak
pidana dengan ketentuan dendanya terdapat didalam naskah-naskah hukum (agama),
yang sayang sekali belum banyak diterbitkan. Ternyata tidak ada naskah hukum
yang berasal dari zaman Mataram Kuno dan Kadiri. Dilihat dari bahasanya
naskah-naskah hukum yang ditemukan berasal dari masa akhir majapahit runtuh,
dan ditulis di kerajaan-kerajaan di Bali. Hal ini tidak perlu mengherankan
karena dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang menjadi pegangan para
hakim itu tentu tidak ditulis diatas logam karena akan menjadi terlalu berat
dan mahal. Naskah-naskah itu tentulah ditulis diatas daun lontar, yang tidak
akan tahan lebih dari seratus tahun. Lagi pula tentunya setiap kali harus
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, baik isi maupun bahasanya.
Dari
beberapa naskah hukum Jawa Kuno yang ditemukan dapat diketahui merupakan olahan
dari naskah-naskah hukum di India. Antara lain kitab Purwadhigama,
Kutaramanawa, atau Siwasasana, dan Swarajambhu. Naskah-naskah yang lain belum
diteliti sama sekali. Menurut penelitian van Naerssen memang ada petunjuk bahwa
naskah-naskah hukum jawa kuno itu ditulis kembali pada waktu-waktu kemudian.
Hal itu dapat dilihat antara lain dari kenyataan bahwa nama-nama mata uang yang
dipakai sebagai alat pembayaran denda ada yang masih menggunakan nama mata uang
India (krsnala, dharana, dan pana), ada yang menggunakan nama mata uang Jawa
kuno (ma,su, dan ku), dan ada yang tidak disebut nama mata uangnya, tetapi
jumlahnya amat besar.
Sebenarnya hanya ad 18 tindak pidana, yang
di dalam naskah-naskah hukum disebut astadasawyawahara, yang diperinci lagi
menjadi beberapa ratus pasal. Ke-18 macam tinda pidana itu ialah :
- Tidak
membayar uang jaminan
- Menjual
barang bukan miliknya
- Tidak
kebagian hasil kerja sama
- Meminta
kembali apa yang telah diberikan
- Tidak
member imbalan
- Mengingkari
janji
- Pembatalan
transaksi jual beli
- Perselisihan
antara penggembala ternak dengan majikannya
- Perselisihan
tentang batas tanah
- Hukuman
atas penghinaan dan makian
- Tingkah
laku pencuri
- Tindak
kekerasan
- Perbuatan
tidak baik terhadap suami/istri
- Pembagian
hak milik atau warisan
- Perjudian
dan taruhan.
Dari naskah-naskah hukum ternyata bahwa
sebagian besar dari tindak pidana itu dihukum dengan hukuman denda. Ada juga
hukuman potong anggota badan yang bersalah, misalnya pemotongan tangan dan
lidah. Pembunuhan dan pencuri, dan semua kejahatan yang termasuk astadusta dan
astacorah, dihukum dengan hukuman mati. Berita-berita Cina dari Sung She juga
memberitakan bahwa di Jawa tidak dikenal hukuman badan, semua kejahatan dihukum
dengan denda dalam mata uang emas, yang jumlahnya sesuai dengan besar kecilnya
kejahatan, hanya perampok dan pencuri yang dihukum mati. Oleh karena itu,
prasasti-prasati menyebut drawya haji yang berasal dari sukha duka.
2.2.2 Keadaan Ekonomi
Beberapa prasasti memberikan keterangan
selintas tentang kegiatan ekonomi pedesaan itu. Di atas telah disinggung
sedikit tentang para pedagang dan pengrajin dalam bagian yang membicarakan
masalah perpajakan. Di dalam prasasti Panggumulan disenut adanya orang-orang
yang menjual beras dari Desa Tunggalangan ke pasar di Desa Sindingan. Tidak
dijelaskan apakah mereka itu memikul berasnya atau membawa berasnya dengan
pedati, istilahnya di dalam bahasa prasasti hanyalah mahawan (=melalui jalan).
Data prasasti menggambarkan bahwa barang dagangan ada yang dipikul (pinikul
dagangannya), ada yang dibawa dengan pedati (magulungan), dan ada yang dibawa
dengan perahu (maparahu). Dengan disebutnya pedati dan perahu sebagai sarana
dan transportasi untuk membawa barang dagangan terbayang adanya perdagangan
antardesa dan antarwilayah.
Disamping perdagangan antardesa dan
antarwilayah watak pada zaman Mataram Kuno, masa pemerintahan Dharmmawangsa
Airlangga dan pada zaman Kadiri berkembang pula perdagangan antarpulau dan
perdagangan internasional. Prasasti Gondosuli II menyebut seorang dang
puhawang. Prasasti Kamalagyan menyebut pada nahkoda dan pedagang besar dari
pulau-pulau dan kerajaan-kerajaan yang lain datang di Hujung Galuh, pelabuhan
di Jawa Timur. Pada relief candi Borobudur tertera beberapa kapal layar besar
yang bercadik, yang jelas menggambarkan kapal dagang Indonesia. Beberapa
prasasti raja Dhammawangsa Airlangga menyebut orang-orang asing dari Asia
Selatan dan Daratan Asia Tenggara di antara para wargga kilalan. Mereka itu
tentulah pedagang yang menetap di Jawa untuk waktu tertentu.
a. Sumber
Penghasilan Kerajaan
Jalur birokrasi yang sama dapat dilihat
pula pada penarikan pajak. Pajak ditarik di desa-desa oleh pejabat tingkat watak yang membawahi desa-desa itu,
kemudian para penguasa daerah (rakai dan
pamgat atau para samya haji) mempersembahkannya kepada raja setiap habis panen, jadi
dua kali setahun. Beberapa prasasti menyebut bulan Asuji dan Kartika sebagai
bulan penyerahan pajak,yaitu bulan Oktober-Nopember. Pejabat tingkat watak yang
bertugas memungut pajak itu disebut pangurang; ada juga istilah pratyaya untuk
menyebut pejabat pemungut pajak. Di pusat kerajaan semua pemasukan pajak diurus
oleh pangkur,tawan,dan tirip. Di tingkat pusat itu ada pula petugas yang khusus
mencatat luas pelbagai jenis tanah diseluruhnkerajaan dan ketetapan pajaknya (wilayah
thani atau wilang wanwa). Oleh karena itu, sering dijumpai di dalam pelbagai
prasasti keterangan bahwa suatu daerah atau sebidang tanah di suatu daerah yang
ditetapkan menjadi sima mempunyai penghasilan pajak (pangguhan) sebanyak sekian
mata uang emas atau perak dan mempunyai kewajiban kerja bakti (gawai) dengan
mengerahkan sekian orang setiap tahunnya, sering juga kewajiban kerja bakti itu
dinilai dengan uang.
Disamping pajak hasil bumi dan pajak tanah
rakyat harus juga membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan. Pajak
yang dikenakan kepada para pedagang (masamwyawahara) dan pengrajin (misra)
tidak diketahui ketentuannya, karena prasasti-prasasti hanya menyebutkan bahwa
di dalam daerah yang telah ditetapkan menjadi sima ada jumlah tertentu yang
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Beberapa prasasti memberikan
keterangan bahwa ada pungutan tertentu yang dikenakan ring salawang salawang (=
dikenakan atas setiap pintu). Keterangan ini dijumpai di dalam prasasti
watukura tahun 824 Saka (27 Juli 902M), yang menyebut pungutan lain disamping
pajak atas tanah, yaitu pangraga skar (persembahan bunga) yang harus
dipersembahkan pada tiap bulan purnama di bulan Jyestha (bulan Juni) dan di
bulan Caitra (April). Ini harus ditafsirkan bahwa setiap rumah atau kepala
keluarga harus member persembahan bunga pada setiap bulan purnama di bulan
April dan Juni.
2.2.3
Sosial dan Budaya
a. Masyarakat
Disamping stratifikasi sosial berdasarkan
pembagian kasta seperti yang ternyata dari pelbagai prasasti, ada lagi
stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan seseorang di dalam masyarakat, baik
kedudukan didalam struktur birokrasi maupun kedudukan sosial berdasarkan
kekayaan materiil. Dalam kenyataan stratifikasi sosial masyarakat Jawa Kuno
bersifat kompleks dan tumpang tindih. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa
dari seorang kasta brahmana, kasta
yang tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi tingkat pusat
atau tingkat watak, dapat juga di tingkat desa (wanwa), tetapi dapat juga tidak mempunyai suatu jabatan. Ada juga
orang dari kasta ksatrya yang dapat
menduduki jabatan keagamaan di tingkat pusat, seperti sang pamgat tiruan misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan
tinggal di suatu biara.
Di dalam lingkungan tembok ibu kota
kerajaan tinggal kelompok elite dan non-elite, raja dan keluarganya mengambil
tempat tersendiri. Hubungan antara raja secara langsung dengan kelompok elite
sulit terlaksana, sedang dengan kelompok elite birokrasi saja hubungan itu
hanya terjadi secara formal. Menurut berita-berita Cina, raja tiap hari
mengadakan pertemuan dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi
kerajaan, dan pendeta penasehat raja. Dlam pertemuan semacam itu perintah raja
diturunkan melalui putra mahkota, yang
meneruskannya kepada para pejabat tinggi kerajaan. Mereka itu menyampaikan
perintah raja kepada utusan daerah yang datang menghadap mengajukan suatu
permohonan kepada raja, atau memerintahkan petugasnya untuk menyampaikan
perintah raja itu ke daerah yang bersangkutan.
b.
Seni Sastra
Dari prsasti Wukajana diceritakan bahwa
cerita Mahabarata dan Ramayana, dua wiracarita yang amat terkenal di India,
dalam permulaan abad X M, dan mungkin juga dalam pertengahan IX M atau
sebelumnya, sudah dikenal oleh nenek moyang kita dalam bentuk gubahan dalam
bahasa Jawa kuno. Akan tetapi, naskah dari masa itu yang diketahui hanyalah
Ramayana Kakawin. Menurut tradisi di Bali dan pendapat beberapa orang sarjana,
kitab itu digubah oleh Yogiswara. Akan tetapi Poerbatjaraka dan P.J. Zoetmulder
menyangsikan pendapat itu, Memang ada kata yogiswara dalam sargga tarakhir,
tetapi itu terdapat dalam kalimat yang merupakan harapan sang pujangga agar
para ahli yoga yang terpelajar dan mereka yang unggul dalam kebijakan disucikan
hatinya telah membacanya. Jadi, sebenarnya tidak diketahui siapa yang menggubah
Ramayana Kakawi itu.
c.
Seni Pertunjukan
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari kebutuha akan
hiburan. Prasasti dan relief candi-candi, terutama Borobudur dan Prambanan,
banyak memberi data tentang bermacam-macam seni pertunjukan. Pertama-tama
dijumpai keterangan tentang pertunjukan wayang didalam prasasti Wukujana dari
masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung. Selain pertunjukan wayang kulit
dan petilan wayang orang serta pembacaan cerita Ramayana, adalagi pertunjukan
lawak. Pertunjukan lawak itu dijumpai hampir disemua prasasti yang menyebut
upacara penetapan sima secara terperinci. Relief candi juga banyak melukiskan
pelawak itu, yang mungkin merupakan prototype tokoh-tokoh punakawan pada relief
candi-candi di Jawa Timur. Tari-tarian juga sering dipertunjukkan pada upacara
penetapan sima.
2.2.4
Sumber-Sumber Sejarah Wangsa Isana
a.
Prasasti Pucangan atau Calcuta
Prasasti Pucangan merupakan sebuah prasasti yang berbahasa Sanskerta dan
Jawa Kuna, merupakan prasasti peninggalan zaman pemerintahan Airlangga, yang
menjelaskan tentang beberapa peristiwa serta silsilah keluarga raja secara
berurutan. Prasasti ini disebut juga dengan Calcutta Stone, karena sekarang
prasasti ini disimpan di Museum India di Kolkata (Calcutta), India. Prasasti
Pucangan terdiri dari dua prasasti berbeda yang dipahat pada sebuah batu, di
sisi depan menggunakan bahasa Jawa Kuna dan di sisi belakang menggunakan bahasa
Sanskerta, namun kedua prasasti tersebut ditulis dalam aksara Kawi (Jawa Kuna).
Prasasti ini berbentuk blok berpuncak runcing serta pada bagian alas prasasti
berbentuk bunga teratai. Penamaan prasasti Pucangan ini, berdasarkan kata Pucangan
yang ditemukan pada prasasti tersebut, pada prasasti ini menceritakan adanya
suatu perintah untuk membangun suatu tempat pertapaan di Pucangan, yaitu nama
sebuah tempat dahulunya di sekitar gunung Penanggungan, kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur.
SILSILAH
AIRLANGGA
SINDOK
ICANATUNGGAWIJAYA +
LOCAPALA
MAKUTAWANGLAWARDHANA
GUNAPRIYADHARMAPATMI + UDAYANA
AIRLANGGA
b.
Prasasti Cunggrang
Prasasti Cunggrang dibuat pada 18
September Tahun 851 Saka atau 929 Masehi atas perintah Pu Sindok, Pendiri
Wangsa Isana Kerajaan Medang (Mataram kuno). Dari data-data sejarah yang ada
pada Prasasti Cunggrang disebutkan bahwa Pu Sindok membuat Prasasti Cunggrang
sebagai ucapan terima kasih Pu Sindok kepada penduduk Cunggrang yang bergotong
royong merawat pertapaan, prasada, dan merawat pancuran air di Pawitra. Pawitra
adalah nama lain dari Gunung Penanggungan. Dusun Cunggrang kemudian dijadikan
sebagai Sima (daerah bebas pajak) oleh Pu Sindok. Pada waktu itu,
Cunggrang berada di dalam Watek (struktur pemerintahan daerah setingkat
kabupaten) Bawang di bawah kekuasaan Wahuta Wungkal. Kini, Cunggrang
berada di Dusun Sukci Desa Bulusari Kecamatan Gempol.
c.
Prasasti Anjukladang
Prasasti Anjukladang bertarikh 937 M,
menginfromasikan bahwa istana Medang dipindahkan ke wilayah Watugaluh, di tepi
Kali Brantas, masih di sekitar Jombang. Kini kita bisa menemukan sebuah
kecamatan bernama Megaluh. Hingga kepindahan ke Watugaluh pun, Pu Sindok tak
berniat mendirikan kerajan baru. Ini terlihat dari kalimat pada Prasasti
Turyyan bahwa “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram
i Watugaluh”. Tulisan ini menunjukkan bahwa ibukota telah berpindah dari
Tamwlang ke Watugaluh. Prasati Paradah juga mengatakan: “mdang i bhumi
mataram i watugaluh.” Maka dari situ tak berlebihan bila kita menyebut
kerajaan dengan ibu kota baru ini dengan sebutan “Medang i Bhumi Mataram i
Watugaluh”. Bisa diartikan sebagai “Medang (yang dulu) di Bhumi Mataram
(sekarang berada) di Watugaluh”. Atau bisa juga sebagai kerajaan “Medang i
Bhumi Mataram” (dengan ibu kota baru) di Watugaluh”. Pembacaan J.G. de Casparis
terhadap Prasasti Anjukladang melahirkan dugaan bahwa pernah ada serbuan dari
Malayu ke Jawa. Diberitakan, tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk, Jawa
Timur, namun berhasil dihalau oleh pasukan Mataram di bawah
komando langsung Pu Sindok , ketika itu belum menjadi raja. Mungkin
masih berada di Tamwlang atau mungkin pula masih menjadi pejabat di Bhumi
Mataram. Atas jasanya yang begitu besar terhadap kerajaan, Pu Sindok diangkat
menjadi raja (apakah ketika masih di Tamwlang atau sudah Watugaluh?).
Namun, tulisan pada Prasasti Anjukladang
belum terbaca seluruhnya. Dalam transkripsi Casparis, yang lebih komplit
pembacaannya ketimbang transkripsi Brandes, diterangkan bahwa di tempat Sang
Hyang Prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan.
Hampir tidak adanya prasasti mengenai peristiwa politik/militer pada masa Pu
Sindok, bukan berarti bahwa pada masa pemerintahan Pu Sindok tidak ada
penaklukan atau peperangan terhadap dari kerajaan lain. Prasasti Waharu dan
Sumbut memungkinkan bahwa pernah terjadi peperangan sebagai usaha penaklukan Pu
Sindok terhadap kerajaan-kerajaan kecil, fakta bahwa pusat pemerintahan selalu
berpindah-pindah menggambarkan bahwa pada masa Pu Sindok banyak terjadi
penyerang musuh ke dalam ibu kota tersebut.
2.3 Proses
Keruntuhan Wangsa Isana
Proses keruntuhan Wangsa Isana ini
meliputi faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:
·
Faktor Internal
a. Tidak
ada pembentukan pemimpin baru, karena sesudah raja Airlangga memimpin dan
akhirnya raja Airlangga wafat dari keturunan raja Airlangga tidak ada
pengganti, raja Airlangga mempunyai seorang perempuan sebagai mahamantri i
hino, yaitu Sanggramawijaya, yang menduduki tempat tertinggi sesudah raja.
Rupanya Sanggramawijaya adalah anak sang raja sendiri, yang dicalonkan akan
menggantikan menaiki tahta kerajaan. Akan tetapi setelah tiba masanya, putri
ini menolak menjadi raja dan memilih penghidupan sebagai petapa. Atas usaha Airlangga
sendiri dibuatkanlah untuknya sebuah pertapaan di Pucangan (gunung
Penanggungan). Dan disinilah Sanggramawijaya menarik diri sebagai Kili Suci.
Timbullah kini kesulitan bagi Airlangga,
oleh karena dengan kepergian putrid mahkota itu dua orang anaknya lagi yang
laki-laki mungkin akan merebutkan tahta. Maka diputuskanlah dalam tahun 1041
untuk membagi kerajaannya menjadi dua, dengan pertolongan seorang Brahmana yang
sangat terkenal akan kesaktiannya, ialah Mpu Barada. Dua kerajaan itu ialah
Janggala (Singhasari) dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu (Kediri) dengan
ibukotanya Daha. Gunung Kawi ke utara dan selatan yang menjadi batasnya. Segera
setelah membagi kerajaannya, Airlangga mengundurkan diri sebagai petapa dengan
nama Resi Gentayu. Ia wafat dalam tahun 1049, dan dimakamkan di Tirta. Sebuah bangunan suci yang terdiri
atas kolam-kolam dilereng timur gunung Penanggungan dan yang terkenalkan
sebagai candi Belahan. Ia diwujudkan sebagai wisnu, menaiki garuda, sebuah arca
indah sekali yang kini disimpan dimuseum Mojokerto . Semasa hidupnya, Airlangga
memang dianggap sebagai titisan Wisnu, dan yang menjadi lencana kerajaannya
ialah Garudamukha. Lencana ini beberapa kali disebutkan dalam prasasti-prasasti
Airlangga dan sekali-kali juga dinyatakan sebagai lukisan pada sisi atas
prasasti.
b. Terjadinya
perang saudara melemahkan kekuatan. Perang paregreg menimbulkan malapetaka bagi
rakyat dan kaum bangsawan.
·
Faktor Eksternal
a. Masuknya
agama Islam, dengan berkembangnya ajaran Islam di Nusantara ini akhirnya mau
tidak mau menjadikan ajaran Hindu terdesak dan kemudian muncullah kerajaan
Islam di wilayah ini
BAB
3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Sejarah berdirinya Wangsa
Isana yang ada pada kerajaan Mataram kuno muncul karena adanya perpindahan
sistem pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dapat diketahui bahwa
adanya perpindahan sistem pemeintahan tersebut disebabkan oleh bencana alam
yaitu meletusnya Gunung Merapi yang mahadahsyat.
3.1.2 Dalam proses perkembangan
Wangsa Isana ini di Jawa Timur terbagi menjadi tiga bagian, yaitu yang pertama
keadaan politiknya struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan
kuno, raja (sri maharaja) ialah
penguasa tertinggi. Sesuai dengan landasan kosmogonis, raja ialah penjelmaan
dewa di dunia. Kedua keadaan ekonominya yaitu masyarakatnya berdagang. Yang
ketiga yaitu keadaan sosial adanya stratifikasi sosial bersarkan sistem kasta.
Dan budaya yang ada seperti seni sastra dan seni pertunjukan. Kemudian sumber-sumber
yang ada yaitu dari prasasti calcuta atau pucangan, prasasti cunggrang, dan
prasasti anjukladang.
3.1.3 Keruntuhan Wangsa Isana atau
Mataram kuno yang ada di Jawa Timur ini dapat dilihat dari faktor Internal,
yaitu Tidak ada pembentukan pemimpin baru dan
terjadinya perang saudara melemahkan kekuatan. Sedangkan faktor eksternal,
yaitu kemungkinan masuknya islam ke nusantara.
3.2 Saran
Untuk memperluas pengetahuan yang dimiliki
maka dapat memahami materi bahasan ini, karena dapat diketahui bahwa adanya
atau munculnya Wangsa Isana menandakan masih adanya kerajaan Mataram yang ada
di Jawa Timur. Dan kami sarankan kepada pembaca agar lebih
mengerti dan memahami tentang bahasan pada makalah ini tentang Wangsa Isana
sehingga kita dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Soebachman, Agustina.
2014. Sejarah Nusantara Berdasarkan Urutan
Waktu. Yogyakarta : Syura Media Utama.
Soekmono,
R. 1995. Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.
Yogyakarta : Kanisius
Tim Nasional Penyusunan
Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional
Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka
1 Komentar:
ulasan menarik tentang wangsa isana
salam kenal
obat keputihan gatal
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda