Sabtu, 13 Desember 2014

Wangsa Isana




BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
     Sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di zaman dahulu yaitu kerajaan Mataram kuno. Di dalam kerajaan mataram itu terdapat sebuah wangsa yaitu disebut dengan wangsa Isana. Wangsa ini merupakan pembentuk dari kerajaan Mataram kuno yang ada di Jawa Timur.
     Seperti yang kita ketahui bahwa setiap kerajaan itu berdiri maka ada seorang pendiri dan pemimpin didalamnya. Wangsa Isana ini merupakan pendiri dari kerajaan Mataram kuno yang ada di Jawa Timur. Yang merupakan perpindahan kerajaan Mataram kuno yang ada di Jawa Tengah. Perpindahan ini terjadi karena sebab-sebab tertentu seperti adanya bencana alam dan penyerangan dari kerajaan lainnya.
          
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana sejarah berdirinya Wangsa Isana?
1.2.2        Bagaimana proses perkembangan Wangsa Isana?
1.2.3        Bagaimana proses keruntuhan Wangsa Isana?

1.3  Tujuan
1.3.1        Mengetahui sejarah berdirinya Wangsa Isana;
1.3.2        Mengetahui proses perkembangan Wangsa Isana;
1.3.3        Mengetahui proses keruntuhan Wangsa Isana.





BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Berdirinya Wangsa Isana
     Wangsa Isana adalah sebuah dinasti. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Istilah Wangsa Isana dijumpai di dalam prasasti Pucangan, dibagian yang berbahasa sanskerta. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041 M). Istilah kata Isana berasal dari nama Sri Isanatungga atau Pu Sindok. Sri Isanatungga mempunyai anak perempuan bernama Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Sri Lokapala dan mempunyai anak bernama Makutawangsawardhana.
     Seperti yang dapat dilihat, dari silsilah tersebut maka pendiri Wangsa Isana adalah Pu Sindok Sri Isanawikramma Dharmatunggadewa, karena ia masih anggota Wangsa Sailendra. Akan tetapi, karena kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran karena letusan Gunung Merapi yang mahadahsyat, sehingga dalam anggapan para pujangga hal itu dianggap sebagai pralaya, sesuai dengan landasan kosmogonis kerajaan-kerajaan kuno haruslah dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Oleh karena itu, Pu Sindok yang membangun kembali kerajaan di Jawa Timur, dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu Wangsa Isana. Rupa-rupanya kerajaan yang baru itu tetap bernama Mataram.
     Kedudukan Pu Sindok dalam keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang dipermasalahkan. Poebatjaraka berpendapat bahwa Pu Sindok adalah menantu Wawa, berdasarkan prasasti Cunggrang yang menyebut bahwa sang sidda dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji sri parameswari dyah kebi (yang telah diperdewakan, Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari dyah Kebi). Namun Sutterheim membantah pendapat tersebut, ia mengatakan bahwa raja Wawa tidak pernah bergelar Rakaia tau Rakryan Wawa, tetapi Rakai Sumba atau Rakai Pangkaja dyah Wawa dan kebi berarti nenek. Dengan kata lain Pu Sindok adalah cucu Daksa.
     Wangsa Isana ini merupakan bentukan baru wangsa setelah terjadinya perpindahan kerajaan dan sistem pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Menurut para ahli terjadinya pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yaitu disebabkan oleh :
1)   Menurut Ir. Y Zerman
Karena adanya bencana alam yang dahsyat
2)   Menurut Prof. Veith
Jawa Timur memerdekakan diri dengan bukti Sindok bukan dari Wangsa Sanjaya
3)   Menurut Sutterheim dan Mocus
Adanya ancaman dari Sriwijaya
4)   Menurut De Casparin
Karena faktor ekonomi, banyaknya pelabuhan internasional

2.2  Proses Perkembangan Wangsa Isana
     Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.
     Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.
     Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890900–an).
     Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, merupakan mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat berpendapat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.
     Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
2.2.1 Keadaan Politik
a.    Struktur Birokrasi
     Di dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja (sri maharaja) ialah penguasa tertinggi. Sesuai dengan landasan kosmogonis, raja ialah penjelmaan dewa di dunia. Hal itu ternyata dari gelar abhiseka dan puji-pujian kepada raja didalam pelbagai prasasti dan kitab-kitab susastra Jawa kuno sejak raja Airlangga. Dari zaman Mataram Kuno hanya ada dua orang raja yang bergelar abhiseka dengan unsur tunggadewa, yaitu Bhujayotunggadewa di dalam prasasti dari candi Plaosan Lor dan Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa.
     Seorang raja harus berpegang teguh kepada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa (wnang wigraha anugraha), bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak-gejolak di rakyatnya, berusaha agar rakyat senatiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.

b.    Sistem Hukum
     Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintah daerah yang lain adalah denda-denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana. Di dalam prasasti-prasati disebut sukha duhka, yang di dalam naskah-naskah hukum disebut hala hayu, denda-denda itu didalam prasasti juga disebut drawya haji. Keterangan yang terperinci mengenai tindak pidana dengan ketentuan dendanya terdapat didalam naskah-naskah hukum (agama), yang sayang sekali belum banyak diterbitkan. Ternyata tidak ada naskah hukum yang berasal dari zaman Mataram Kuno dan Kadiri. Dilihat dari bahasanya naskah-naskah hukum yang ditemukan berasal dari masa akhir majapahit runtuh, dan ditulis di kerajaan-kerajaan di Bali. Hal ini tidak perlu mengherankan karena dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang menjadi pegangan para hakim itu tentu tidak ditulis diatas logam karena akan menjadi terlalu berat dan mahal. Naskah-naskah itu tentulah ditulis diatas daun lontar, yang tidak akan tahan lebih dari seratus tahun. Lagi pula tentunya setiap kali harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, baik isi maupun bahasanya.
     Dari beberapa naskah hukum Jawa Kuno yang ditemukan dapat diketahui merupakan olahan dari naskah-naskah hukum di India. Antara lain kitab Purwadhigama, Kutaramanawa, atau Siwasasana, dan Swarajambhu. Naskah-naskah yang lain belum diteliti sama sekali. Menurut penelitian van Naerssen memang ada petunjuk bahwa naskah-naskah hukum jawa kuno itu ditulis kembali pada waktu-waktu kemudian. Hal itu dapat dilihat antara lain dari kenyataan bahwa nama-nama mata uang yang dipakai sebagai alat pembayaran denda ada yang masih menggunakan nama mata uang India (krsnala, dharana, dan pana), ada yang menggunakan nama mata uang Jawa kuno (ma,su, dan ku), dan ada yang tidak disebut nama mata uangnya, tetapi jumlahnya amat besar.
     Sebenarnya hanya ad 18 tindak pidana, yang di dalam naskah-naskah hukum disebut astadasawyawahara, yang diperinci lagi menjadi beberapa ratus pasal. Ke-18 macam tinda pidana itu ialah :
-       Tidak membayar uang jaminan
-       Menjual barang bukan miliknya
-       Tidak kebagian hasil kerja sama
-       Meminta kembali apa yang telah diberikan
-       Tidak member imbalan
-       Mengingkari janji
-       Pembatalan transaksi jual beli
-       Perselisihan antara penggembala ternak dengan majikannya
-       Perselisihan tentang batas tanah
-       Hukuman atas penghinaan dan makian
-       Tingkah laku pencuri
-       Tindak kekerasan
-       Perbuatan tidak baik terhadap suami/istri
-       Pembagian hak milik atau warisan
-       Perjudian dan taruhan.
     Dari naskah-naskah hukum ternyata bahwa sebagian besar dari tindak pidana itu dihukum dengan hukuman denda. Ada juga hukuman potong anggota badan yang bersalah, misalnya pemotongan tangan dan lidah. Pembunuhan dan pencuri, dan semua kejahatan yang termasuk astadusta dan astacorah, dihukum dengan hukuman mati. Berita-berita Cina dari Sung She juga memberitakan bahwa di Jawa tidak dikenal hukuman badan, semua kejahatan dihukum dengan denda dalam mata uang emas, yang jumlahnya sesuai dengan besar kecilnya kejahatan, hanya perampok dan pencuri yang dihukum mati. Oleh karena itu, prasasti-prasati menyebut drawya haji yang berasal dari sukha duka.
2.2.2 Keadaan Ekonomi
     Beberapa prasasti memberikan keterangan selintas tentang kegiatan ekonomi pedesaan itu. Di atas telah disinggung sedikit tentang para pedagang dan pengrajin dalam bagian yang membicarakan masalah perpajakan. Di dalam prasasti Panggumulan disenut adanya orang-orang yang menjual beras dari Desa Tunggalangan ke pasar di Desa Sindingan. Tidak dijelaskan apakah mereka itu memikul berasnya atau membawa berasnya dengan pedati, istilahnya di dalam bahasa prasasti hanyalah mahawan (=melalui jalan). Data prasasti menggambarkan bahwa barang dagangan ada yang dipikul (pinikul dagangannya), ada yang dibawa dengan pedati (magulungan), dan ada yang dibawa dengan perahu (maparahu). Dengan disebutnya pedati dan perahu sebagai sarana dan transportasi untuk membawa barang dagangan terbayang adanya perdagangan antardesa dan antarwilayah.
     Disamping perdagangan antardesa dan antarwilayah watak pada zaman Mataram Kuno, masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga dan pada zaman Kadiri berkembang pula perdagangan antarpulau dan perdagangan internasional. Prasasti Gondosuli II menyebut seorang dang puhawang. Prasasti Kamalagyan menyebut pada nahkoda dan pedagang besar dari pulau-pulau dan kerajaan-kerajaan yang lain datang di Hujung Galuh, pelabuhan di Jawa Timur. Pada relief candi Borobudur tertera beberapa kapal layar besar yang bercadik, yang jelas menggambarkan kapal dagang Indonesia. Beberapa prasasti raja Dhammawangsa Airlangga menyebut orang-orang asing dari Asia Selatan dan Daratan Asia Tenggara di antara para wargga kilalan. Mereka itu tentulah pedagang yang menetap di Jawa untuk waktu tertentu.
a.    Sumber Penghasilan Kerajaan
     Jalur birokrasi yang sama dapat dilihat pula pada penarikan pajak. Pajak ditarik di desa-desa oleh pejabat tingkat watak yang membawahi desa-desa itu, kemudian para penguasa daerah (rakai dan pamgat atau para samya haji) mempersembahkannya kepada raja setiap habis panen, jadi dua kali setahun. Beberapa prasasti menyebut bulan Asuji dan Kartika sebagai bulan penyerahan pajak,yaitu bulan Oktober-Nopember. Pejabat tingkat watak yang bertugas memungut pajak itu disebut pangurang; ada juga istilah pratyaya untuk menyebut pejabat pemungut pajak. Di pusat kerajaan semua pemasukan pajak diurus oleh pangkur,tawan,dan tirip. Di tingkat pusat itu ada pula petugas yang khusus mencatat luas pelbagai jenis tanah diseluruhnkerajaan dan ketetapan pajaknya (wilayah thani atau wilang wanwa). Oleh karena itu, sering dijumpai di dalam pelbagai prasasti keterangan bahwa suatu daerah atau sebidang tanah di suatu daerah yang ditetapkan menjadi sima mempunyai penghasilan pajak (pangguhan) sebanyak sekian mata uang emas atau perak dan mempunyai kewajiban kerja bakti (gawai) dengan mengerahkan sekian orang setiap tahunnya, sering juga kewajiban kerja bakti itu dinilai dengan uang.
     Disamping pajak hasil bumi dan pajak tanah rakyat harus juga membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan. Pajak yang dikenakan kepada para pedagang (masamwyawahara) dan pengrajin (misra) tidak diketahui ketentuannya, karena prasasti-prasasti hanya menyebutkan bahwa di dalam daerah yang telah ditetapkan menjadi sima ada jumlah tertentu yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Beberapa prasasti memberikan keterangan bahwa ada pungutan tertentu yang dikenakan ring salawang salawang (= dikenakan atas setiap pintu). Keterangan ini dijumpai di dalam prasasti watukura tahun 824 Saka (27 Juli 902M), yang menyebut pungutan lain disamping pajak atas tanah, yaitu pangraga skar (persembahan bunga) yang harus dipersembahkan pada tiap bulan purnama di bulan Jyestha (bulan Juni) dan di bulan Caitra (April). Ini harus ditafsirkan bahwa setiap rumah atau kepala keluarga harus member persembahan bunga pada setiap bulan purnama di bulan April dan Juni.

       2.2.3 Sosial dan Budaya
a.    Masyarakat
     Disamping stratifikasi sosial berdasarkan pembagian kasta seperti yang ternyata dari pelbagai prasasti, ada lagi stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan seseorang di dalam masyarakat, baik kedudukan didalam struktur birokrasi maupun kedudukan sosial berdasarkan kekayaan materiil. Dalam kenyataan stratifikasi sosial masyarakat Jawa Kuno bersifat kompleks dan tumpang tindih. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa dari seorang kasta brahmana, kasta yang tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi tingkat pusat atau tingkat watak, dapat juga di tingkat desa (wanwa), tetapi dapat juga tidak mempunyai suatu jabatan. Ada juga orang dari kasta ksatrya yang dapat menduduki jabatan keagamaan di tingkat pusat, seperti sang pamgat tiruan misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan tinggal di suatu biara.
     Di dalam lingkungan tembok ibu kota kerajaan tinggal kelompok elite dan non-elite, raja dan keluarganya mengambil tempat tersendiri. Hubungan antara raja secara langsung dengan kelompok elite sulit terlaksana, sedang dengan kelompok elite birokrasi saja hubungan itu hanya terjadi secara formal. Menurut berita-berita Cina, raja tiap hari mengadakan pertemuan dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi kerajaan, dan pendeta penasehat raja. Dlam pertemuan semacam itu perintah raja diturunkan  melalui putra mahkota, yang meneruskannya kepada para pejabat tinggi kerajaan. Mereka itu menyampaikan perintah raja kepada utusan daerah yang datang menghadap mengajukan suatu permohonan kepada raja, atau memerintahkan petugasnya untuk menyampaikan perintah raja itu ke daerah yang bersangkutan.

b.         Seni Sastra
     Dari prsasti Wukajana diceritakan bahwa cerita Mahabarata dan Ramayana, dua wiracarita yang amat terkenal di India, dalam permulaan abad X M, dan mungkin juga dalam pertengahan IX M atau sebelumnya, sudah dikenal oleh nenek moyang kita dalam bentuk gubahan dalam bahasa Jawa kuno. Akan tetapi, naskah dari masa itu yang diketahui hanyalah Ramayana Kakawin. Menurut tradisi di Bali dan pendapat beberapa orang sarjana, kitab itu digubah oleh Yogiswara. Akan tetapi Poerbatjaraka dan P.J. Zoetmulder menyangsikan pendapat itu, Memang ada kata yogiswara dalam sargga tarakhir, tetapi itu terdapat dalam kalimat yang merupakan harapan sang pujangga agar para ahli yoga yang terpelajar dan mereka yang unggul dalam kebijakan disucikan hatinya telah membacanya. Jadi, sebenarnya tidak diketahui siapa yang menggubah Ramayana Kakawi itu.
c.         Seni Pertunjukan
     Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari kebutuha akan hiburan. Prasasti dan relief candi-candi, terutama Borobudur dan Prambanan, banyak memberi data tentang bermacam-macam seni pertunjukan. Pertama-tama dijumpai keterangan tentang pertunjukan wayang didalam prasasti Wukujana dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung. Selain pertunjukan wayang kulit dan petilan wayang orang serta pembacaan cerita Ramayana, adalagi pertunjukan lawak. Pertunjukan lawak itu dijumpai hampir disemua prasasti yang menyebut upacara penetapan sima secara terperinci. Relief candi juga banyak melukiskan pelawak itu, yang mungkin merupakan prototype tokoh-tokoh punakawan pada relief candi-candi di Jawa Timur. Tari-tarian juga sering dipertunjukkan pada upacara penetapan sima.
2.2.4 Sumber-Sumber Sejarah Wangsa Isana
a.    Prasasti Pucangan atau Calcuta
     Prasasti Pucangan merupakan sebuah prasasti yang berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuna, merupakan prasasti peninggalan zaman pemerintahan Airlangga, yang menjelaskan tentang beberapa peristiwa serta silsilah keluarga raja secara berurutan. Prasasti ini disebut juga dengan Calcutta Stone, karena sekarang prasasti ini disimpan di Museum India di Kolkata (Calcutta), India. Prasasti Pucangan terdiri dari dua prasasti berbeda yang dipahat pada sebuah batu, di sisi depan menggunakan bahasa Jawa Kuna dan di sisi belakang menggunakan bahasa Sanskerta, namun kedua prasasti tersebut ditulis dalam aksara Kawi (Jawa Kuna). Prasasti ini berbentuk blok berpuncak runcing serta pada bagian alas prasasti berbentuk bunga teratai. Penamaan prasasti Pucangan ini, berdasarkan kata Pucangan yang ditemukan pada prasasti tersebut, pada prasasti ini menceritakan adanya suatu perintah untuk membangun suatu tempat pertapaan di Pucangan, yaitu nama sebuah tempat dahulunya di sekitar gunung Penanggungan, kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
SILSILAH AIRLANGGA
SINDOK

ICANATUNGGAWIJAYA  +  LOCAPALA
 


MAKUTAWANGLAWARDHANA
 


GUNAPRIYADHARMAPATMI  + UDAYANA


AIRLANGGA
b.    Prasasti Cunggrang
     Prasasti Cunggrang dibuat pada 18 September Tahun 851 Saka atau 929 Masehi atas perintah Pu Sindok, Pendiri Wangsa Isana Kerajaan Medang (Mataram kuno). Dari data-data sejarah yang ada pada Prasasti Cunggrang disebutkan bahwa Pu Sindok membuat Prasasti Cunggrang sebagai ucapan terima kasih Pu Sindok kepada penduduk Cunggrang yang bergotong royong merawat pertapaan, prasada, dan merawat pancuran air di Pawitra. Pawitra adalah nama lain dari Gunung Penanggungan. Dusun Cunggrang kemudian dijadikan sebagai Sima (daerah bebas pajak) oleh Pu Sindok. Pada waktu itu, Cunggrang berada di dalam Watek (struktur pemerintahan daerah setingkat kabupaten) Bawang di bawah kekuasaan Wahuta Wungkal. Kini, Cunggrang berada di Dusun Sukci Desa Bulusari Kecamatan Gempol.
c.    Prasasti Anjukladang
     Prasasti Anjukladang bertarikh 937 M, menginfromasikan bahwa istana Medang dipindahkan ke wilayah Watugaluh, di tepi Kali Brantas, masih di sekitar Jombang. Kini kita bisa menemukan sebuah kecamatan bernama Megaluh. Hingga kepindahan ke Watugaluh pun, Pu Sindok tak berniat mendirikan kerajan baru. Ini terlihat dari kalimat pada Prasasti Turyyan bahwa “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh”. Tulisan ini menunjukkan bahwa ibukota telah berpindah dari Tamwlang ke Watugaluh. Prasati Paradah juga mengatakan: “mdang i bhumi mataram i watugaluh.” Maka dari situ tak berlebihan bila kita menyebut kerajaan dengan ibu kota baru ini dengan sebutan “Medang i Bhumi Mataram i Watugaluh”. Bisa diartikan sebagai “Medang (yang dulu) di Bhumi Mataram (sekarang berada) di Watugaluh”. Atau bisa juga sebagai kerajaan “Medang i Bhumi Mataram” (dengan ibu kota baru) di Watugaluh”. Pembacaan J.G. de Casparis terhadap Prasasti Anjukladang melahirkan dugaan bahwa pernah ada serbuan dari Malayu ke Jawa. Diberitakan, tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk, Jawa Timur, namun berhasil dihalau oleh pasukan Mataram di bawah komando langsung Pu Sindok , ketika itu belum menjadi raja. Mungkin masih berada di Tamwlang atau mungkin pula masih menjadi pejabat di Bhumi Mataram. Atas jasanya yang begitu besar terhadap kerajaan, Pu Sindok diangkat menjadi raja (apakah ketika masih di Tamwlang atau sudah Watugaluh?).
     Namun, tulisan pada Prasasti Anjukladang belum terbaca seluruhnya. Dalam transkripsi Casparis, yang lebih komplit pembacaannya ketimbang transkripsi Brandes, diterangkan bahwa di tempat Sang Hyang Prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan. Hampir tidak adanya prasasti mengenai peristiwa politik/militer pada masa Pu Sindok, bukan berarti bahwa pada masa pemerintahan Pu Sindok tidak ada penaklukan atau peperangan terhadap dari kerajaan lain. Prasasti Waharu dan Sumbut memungkinkan bahwa pernah terjadi peperangan sebagai usaha penaklukan Pu Sindok terhadap kerajaan-kerajaan kecil, fakta bahwa pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah menggambarkan bahwa pada masa Pu Sindok banyak terjadi penyerang musuh ke dalam ibu kota tersebut.

2.3 Proses Keruntuhan Wangsa Isana
     Proses keruntuhan Wangsa Isana ini meliputi faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:
·      Faktor Internal
a.    Tidak ada pembentukan pemimpin baru, karena sesudah raja Airlangga memimpin dan akhirnya raja Airlangga wafat dari keturunan raja Airlangga tidak ada pengganti, raja Airlangga mempunyai seorang perempuan sebagai mahamantri i hino, yaitu Sanggramawijaya, yang menduduki tempat tertinggi sesudah raja. Rupanya Sanggramawijaya adalah anak sang raja sendiri, yang dicalonkan akan menggantikan menaiki tahta kerajaan. Akan tetapi setelah tiba masanya, putri ini menolak menjadi raja dan memilih penghidupan sebagai petapa. Atas usaha Airlangga sendiri dibuatkanlah untuknya sebuah pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan). Dan disinilah Sanggramawijaya menarik diri sebagai Kili Suci.
     Timbullah kini kesulitan bagi Airlangga, oleh karena dengan kepergian putrid mahkota itu dua orang anaknya lagi yang laki-laki mungkin akan merebutkan tahta. Maka diputuskanlah dalam tahun 1041 untuk membagi kerajaannya menjadi dua, dengan pertolongan seorang Brahmana yang sangat terkenal akan kesaktiannya, ialah Mpu Barada. Dua kerajaan itu ialah Janggala (Singhasari) dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu (Kediri) dengan ibukotanya Daha. Gunung Kawi ke utara dan selatan yang menjadi batasnya. Segera setelah membagi kerajaannya, Airlangga mengundurkan diri sebagai petapa dengan nama Resi Gentayu. Ia wafat dalam tahun 1049, dan dimakamkan di Tirta. Sebuah bangunan suci yang terdiri atas kolam-kolam dilereng timur gunung Penanggungan dan yang terkenalkan sebagai candi Belahan. Ia diwujudkan sebagai wisnu, menaiki garuda, sebuah arca indah sekali yang kini disimpan dimuseum Mojokerto . Semasa hidupnya, Airlangga memang dianggap sebagai titisan Wisnu, dan yang menjadi lencana kerajaannya ialah Garudamukha. Lencana ini beberapa kali disebutkan dalam prasasti-prasasti Airlangga dan sekali-kali juga dinyatakan sebagai lukisan pada sisi atas prasasti.
b.    Terjadinya perang saudara melemahkan kekuatan. Perang paregreg menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kaum bangsawan.
·      Faktor Eksternal
a.    Masuknya agama Islam, dengan berkembangnya ajaran Islam di Nusantara ini akhirnya mau tidak mau menjadikan ajaran Hindu terdesak dan kemudian muncullah kerajaan Islam di wilayah ini








BAB 3
 PENUTUP

3.1  Kesimpulan
3.1.1 Sejarah berdirinya Wangsa Isana yang ada pada kerajaan Mataram kuno muncul karena adanya perpindahan sistem pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dapat diketahui bahwa adanya perpindahan sistem pemeintahan tersebut disebabkan oleh bencana alam yaitu meletusnya Gunung Merapi yang mahadahsyat.
3.1.2 Dalam proses perkembangan Wangsa Isana ini di Jawa Timur terbagi menjadi tiga bagian, yaitu yang pertama keadaan politiknya struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja (sri maharaja) ialah penguasa tertinggi. Sesuai dengan landasan kosmogonis, raja ialah penjelmaan dewa di dunia. Kedua keadaan ekonominya yaitu masyarakatnya berdagang. Yang ketiga yaitu keadaan sosial adanya stratifikasi sosial bersarkan sistem kasta. Dan budaya yang ada seperti seni sastra dan seni pertunjukan. Kemudian sumber-sumber yang ada yaitu dari prasasti calcuta atau pucangan, prasasti cunggrang, dan prasasti anjukladang.
3.1.3 Keruntuhan Wangsa Isana atau Mataram kuno yang ada di Jawa Timur ini dapat dilihat dari faktor Internal, yaitu Tidak ada pembentukan pemimpin baru dan terjadinya perang saudara melemahkan kekuatan. Sedangkan faktor eksternal, yaitu kemungkinan masuknya islam ke nusantara.

3.2 Saran
     Untuk memperluas pengetahuan yang dimiliki maka dapat memahami materi bahasan ini, karena dapat diketahui bahwa adanya atau munculnya Wangsa Isana menandakan masih adanya kerajaan Mataram yang ada di Jawa Timur. Dan kami sarankan kepada pembaca agar lebih mengerti dan memahami tentang bahasan pada makalah ini tentang Wangsa Isana sehingga kita dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.



























DAFTAR PUSTAKA


Soebachman, Agustina. 2014. Sejarah Nusantara Berdasarkan Urutan Waktu. Yogyakarta : Syura Media Utama.
Soekmono, R. 1995. Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius
Tim Nasional Penyusunan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka

1 Komentar:

Pada 9 Maret 2017 pukul 23.32 , Blogger Unknown mengatakan...

ulasan menarik tentang wangsa isana

salam kenal
obat keputihan gatal

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda