Filsafat Sejarah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Secara umum,
karakterisasi pekerjaan seorang ahli sejarah tidaklah seperti yang dikemukakan
oleh para filsuf sejarah. Pretensi filsuf sejarah terhadap ahli sejarah, masa
silam memang terhampar di belakang kita, yang terpenting mengkisahkan tentang
masa silam. Tugas ahli sejarah meneliti dan menganalisa tentang masa silam
supaya menemukan apa yang kita pikirkan dan dilakukan manusia pada masa silam.
Meneliti dan menganalisa peristiwa masa silam, berarti tugas sejarawan adalah
menemukan serta memaparkan fakta-fakta sejarah.
Membahasa fakta
sebagai dasar pengkajian sejarah berkaitan antara peran para sejarawan dan
fakta-fakta mereka. Menurut pendapat Sir Geoffrey Elton, ia mengatakan bahwa: a hictorical fact was something that
happened in the past, which left traces in documents wich could be used by
historian to reconstruct in the present. Sumber sejarah yang ditinggalkan
kepada kita harus dibaca secara hati-hati , teliti, dalam konteks kekinian,
sejarawan berusaha untuk memperoleh kebenaran dari jejak peninggalan masa
silam.
Sejara sebagai
peristiwa masa silam tidak memberi jawaban terhadap kepentingan masa silam,
tetapi pada kepentingan masa kini, masa sekarang. Tentunya, pemahaman mengenai
masa kini, mas sekarang, atau masa kontemporer merupakan kontinuitas atau suatu
terusan mengenai waktu, zaman, ditinjau sebagai masa silam yang paling baru.
Apakah hal itu dihitung dari 50 tahun yang terakhir, puluhan tahun, satu tahun,
sehari atau sesungguhnya dari satu jam atau satu menit yang terakhir.
Oleh karena itulah, kami mengambil judul
makalah kami yaitu “PANDANGAN dan PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH KRITIS tentang (Fakta, Pernyataan, dan Kebenaran)”.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas, dapat di tarik sebuah rumusan masalah dalam pembahasan
makalah makalah ini diantaranya:
1.2.1
Bagaimana fakta
sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis ?
1.2.2
Bagaimana pernyataan
sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis ?
1.2.3
Bagaimana
kebenaran dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini, antara lain adalah:
1.3.1
Untuk mengetahui
fakta sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis;
1.3.2
Untuk mengetahui
pernyataan sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis;
1.3.3
Untuk mengetahui
kebenaran dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Fakta Sejarah Dalam Pandangan dan Pemikiran Filsafat sejarah kritis
A.
Fakta
Sejarah Menurut Carl L. Becker
Sebagian besar sejarawan condong
memandang fakta sejarah sebagai dasar pengkajian sejarah yang mutlak dan dapat
diandalkan. Fakta dapat ditentukan dengan kepastian yang praktis tidak dapat
disangsikan dan, jika terjadi kesangsian, maka dalam praktik ini dapat
dipecahkan. Tetapi, andaikata ada rasa keraguan, biasanya tidak timbul
kesukaran.
Mensitir perkataan Carl
L. Becker, seorang ahli sejarah berkebangsaan Amerika, ia membedakan dua jenis
fakta, yakni hard fact (fakta keras)
dan cold fact (fakta lunak). Hard fact, diartikan sebagai fakta yang
sudah stabil, sudah jelas, tidak tergoyahkan lagi. Sepertiperistiwa bulan
Agustus 1914 telah terjadi meletusnya Perang Dunia I, hal ini termasuk hard fact. Sedangkan Cold fact, diartikan sebagai fakta yang
masih menyangsikan, kurang memadai, masih diselidiki lagi kebenarannya.
B.
Fakta
Sejarah
Mengenai fakta
historis, dapat diberikan suatu gambaran, ketika para ahli sejarah Jerman pada
pertengahan abad ke-19 meneliti adat kebiasaan suku-suku Jerman primitive.
Mereka mendapatkan suatu institusi komunal yang mereka namakan suku Jerman
primitive atau Teutonic Mark. Sejarawan Jerman yang hidup pada masa itu telah
terilhami oleh tulisan sejarawan Romawi, Tacitus yang menulis sebuah buku
berjudul Germania, di antaranya mengisahkan masa pemerintahan Caesar yang
tengah berperang dengan suku-suku primitive Jerman atau yang disebut Suku
Teutonic. Suku-suku primitive Jerman merupakan historical facts. Oleh para sejarawan Jerman abad 19, dapat saja
Suku Teutonic sebagai historical facts kemudian diedit atau diberi “bumbu-bumbu
penyedap” sehingga cerita itu mengarah sebagai suatu cerita mite yang tidak
sesuai dengan kenyataan sejarah. Mereka tidak langsung mengalami sendiri ketika
masa pemerintahan Julius Caesar. Mereka memperoleh bekas-bekas peninggalan atau
pernyataan tentang peristiwa itu.
Berdasarkan berbagai
uraian mengenai fakta sejarah, Carl LBecker mencoba untuk memberikan keterangan
singkat, bahwa yang dimaksud fakta sejarah selalu dikonstruksi atau disusun
oleh peneliti sejarah. Fakta-fakta sejarah selalu merupakan kancah perdebatan
antar para ahli sejarah. Memang, para ahli sejarah sering berdebat dengan
mengajukan suatu pertanyaan, bagaimanakah fakta sejarah itu harus diartikan.
Fakta-fakta tidak atau jarang sekali merupakan bahan keterangan yang absolute
atau mutlak. Fakta itu harus dilihat dari berbagai serta diberlakukan dengan
berhati-hati.
Berbicara masalah
dimana terdapat fakta sejarah, fakta sejarah perlu memperhatikan kredibilitas
sumber. Terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut kredibilitas sumber.
Beberapa hal diantaranya kesaksian tidak langsung, testimony dalam jejak
peninggalan, dan berbagai masalah yang timbul dalam kredibilitas. Melalui fakta
sejarah kita dapat memperoleh informasi sejarah yang diperlukan.
Sering kita dengar dari
sejarawan, bahwa ia memakai semboyan “masa silam demi masa silam”. Artinya,
seorang sejarawan yang mempelajari sesuatu hal yang telah silam, yang lampau,
demi hal yang lampau itu sendiri dan secara terisolasi dari hal-hal lain,
mungkin memberikan sumbangan penting kepada pengetahuan, tidak hanya mengenai
hal itu tetapi juga mengenai lingkungannya; setidak-tidaknya ia dapat
menghindarkan hilangnya pengetahuan mengenai hal itu.
Berdasarkan pendapat
Carl L.Becker,
fakta sejarah terdapat dalam benak para peniliti sejarah yang terlibat dalam
diskusi mengenai fakta sejarah yang bersangkutan. Mengenai terdapat fakta
sejarah, berikut ini diberikan ilustrasi mengenai peristiwa pembunuhan Abraham
Lincolin di Fords Theater, Washington, pada 14 April 1865. Peristiwa itu
merupakan fakta sejarah. Kemudian, bahwa fakta sejarah selalu berada dalam
pikiran atau ingatan seseorang. Tetapi juga bahwa fakta sejarah terdapat pula
dalam sumber-sumber sejarah, catatan-catatan sejarah. Perlu diketahui bahwa
sumber sejarah itu tidak dibuat oleh peristiwa itu sendiri, tetapi oleh
seseorang yang melalui pikirannya atau ingatannya memiliki suatu imajinasi
mengenai pembunuhan Lincolin. Pola-pola itu adalah “sejarah dari peristiwa
tersebut” oleh para peniliti sejarah tentunya fakta sejarah harus dipisahkan
apakah kisah sejarah tersebut melalui karya-karya sejarawan, gambar-gambar,
film, imajinasi seseorang mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi.
Memang apakah
pembunuhan Lincolin pada 14 April 1865 persis seperti yang dikisahkan oleh
seorang ahli sejarah? Bukankah peristiwa pembunuhan Lincolin berlangsung sangat
cepat. Kita sekarang mengetahui bahwa kenyataan sejarah tidak dapat dicakupi
oleh satu atau dua prinsip saja, melainkan bahwa kenyataan itu hanya dapat
ditangkap di dalam penglihatan berbagai prinsip sekaligus. Kenyataan sejarah
hanya dapat dilihat dari sudut pandang yang bersifat majemuk, yang multiple itu. Kenyataan sejarah menjadi polyinterpretable.
Bilamana terjadi fakta
sejarah, kita setuju terhadap pendapat apa yang disebut kontemporer atau masa
sekarang ini, adalah merupakan pertautan antara masa silam dengan masa depan
atau masa yang akan datang. Berarti pengertian masa silam itu adalah relative
tidak dapat diukur atau dibatasi oleh dimensi waktu tertentu. Apabila kita
berfilsafat, bahwa peristiwa yang terjadi telah berlangsung satu jam yang lalu
misalnya, itu dapat dikatakan sebagai peristiwa masa silam. Maka, masa sekarang
atau kontemporer sudah lampau.
Memang, ide masa silam
dapat memberikan suatu inspirasi terhadap masa depan. Kita menyadari bahwa
semua peristiwa masa silam tidak mungkin dapat dicatat atau direkam secara
lengkap. Ingatan terhadap masa silam pada hakikatnya amat terbatas. Lebih-lebih
jika peristiwa masa silam terjadi dalam kurun waktu lama. Di kalangan ahli
sejarah itu sendiri timbul diskusi mengenai fakta sejaah itu sendiri. Menurut
Carl L. Becker, pertanyaannya “bilamana itu terjadi fakta hisroris”?, hendaknya
dijawab “fakta historis adalah kontemporer dengan diskusi yang dilangsungkan
mengenai fakta itu”.
Berikut ini diambilkan
suatu fakta sederhana: “Lincolin dibunuh di Fords Theater, di Washington, pada
14 April 1865.” Fakta itu belum atau tidak keseluruhannya lengkap. Jika kita
memperoleh fakta lengkap, sebagai representasi dari semua fakta, barangkali
representasi itu hanya memuaskan bagi seorang ahli sejarah. Tetapi sejarawan
lain, dalam benak mereka merasa tidak atau belm puas.
Ambillah
sebagai fakta historis yang kelihatan tak ada cela apapun, yakni Panglima
Julius Caesar tahun 49 SM, menyeberangi Sungai Rubikon di Italia Utara.
Unsur-unsur manakah dapat dibedakan dalam fakta ini penting, karena seorang
panglima Romawi menyeberangi sebuah sungai kecil di Italia Utara? Tentu saja,
fakta sejarah ini jauh lebih luas jangkauannya. Pertama-tama, Caesar itu tidak
sendirian, melainkan disertai oleh pasukan-pasukannya. Selain itu, Sungai
Rubikon bukan sembarang sungai, melainkan tapal batas utara yang membatasi
kawasan kekuasaan senat. Seorang jenderal yang ditugaskan di luar Italia, tidak
boleh begitu saja memasuki daerah wewenang Senat. Akhirnya tidak sukarlah menghubungkan
peristiwa itu dengan berbagai perkembangan penting dalam sejarah Republik
Roma., seperti misalnya berakhirnya perang saudara, diawali masa kediktatoran
Julius Caesar yang membuka jalan bagi kaisar pertama, Augustus, dan seterusnya.
Singkatnya, penyeberangan sungai Rubikon itu ternyata merupakan sebuah
peristiwa majemuk. Pernyataan “Caesar menyebrangi Sungai Rubikon”, sebetulnya
hanya merupakan sebuah lambang, seperti yang dikatakan Becker, bagi
peristiwa-peristiwa yang sngat majemuk itu.
Saran
Becker untuk memandang fakta historis itu sebagai sebuah lambang bagi segala
sesuatu yang dikaitkan oleh para ahli sejarah dengan istilah “istilah” fakta
historis (misalnya Caesar menyeberangi Sungai Rubikon), ada segi-seginya yang
menarik, tetapi juga yang kurang menarik. Memang para ahli sejarah sering
berdiskusi mengenai pertanyaan, bagaimana sebuah fakta historis harus
diartikan, tetapi dari lain pihak, pertanyaan mengenai di mana dan bilamana
sebuah fakta historis terjadi, kedengaran agak aneh dan jawaban Becker terhadap
pertanyaan itu lebih aneh lagi.
Dalam
filsafat sejarah tak ada suatu kesalahan yang demikian sering dan suka
dilakukan oleh para filsuf daripada mengacaukan fakta dengan omongan kita
mengenai fakta itu. Kekacauan ini demikian umum terjadi , sehingga kita hampir
ingin bertanya, apakah dalam pengkajian sejarah ada alasan untuk menghapuskan
saja perbedaan tersebut. Sebuah contoh yang cukup menonjol bagaimana bahasa dan
kenyataan dikacaukan, terdapat dalam dialektika Marx. Seperti umum diketahui, maka bagi Marx kontradiksi antara
daya-daya produksi dan perimbangan produksi merupakan penggerak proses
historis. Tetapi daya-daya produksi dan perimbangan-perimbangan produksi
merupakan bagian-bagian atau segi-segi dalam masa silam sendiri, maka dari itu
tak pernah dapat saling kontradiksi. Mawar putih tidak merupakan “sanggahan”
atau kontradiksi terhadap mawar merah. Hanya ucapan mengenai kenyataan
(historis) (seperti “barang ini putih” dan “barang ini merah”), dapat
mengandung kontradiksi.
C. Fakta Unik
dan Fakta General
Seperti telah
diterangkan sebelumnya, bahwa fakta unik terdapat dalam suatu peristiwa yang
hanya satu kali terjadi. Pada hakikatnya, keadaan-keadaan unik dan umum tidak
terdapat garis pemisah yang tegas, mutlak, antara keadaan unik dan general atau
umum.
Fakta unik selalu
ditentukan oleh tempat dan waktunya. Faktor fakta unik, merupakan proses untuk
dapat memahami masa silam, diakui umum di dunia masa kini sebagai sesuatu yang
tidak dapat dihindari. Yang paling penting adalah pengertian waktu sebagai
sesuatu yang langgeng dan berurutan. Para ahli sejarah kontemporer memandang
waktu dan berlakunya waktu dengan kecepatan yang teratur dan yang dapat diukur,
sebagai pangkal pemikiran sejarah oleh karena dan cirri-ciri khasnya itu dapat diuraikan
sebagai sesuatu yang mutlak dalam sejarah. Namun, hendaknya perlu diperhatikan
bahwa fakta janganlah dianggap sebagai bahan keterangan yang abstrak atau
mutlak. Fakta itu harus dilihat dari berbagai sudut pandang serta diperlakukan
dengan berhati-hati sekali. Sering pernyataan singular.
Sama seperti halnya
fakta unik, pada fakta umum atau pernyataan-pernyataan umum yang dirumuskan
oleh para peneliti sejarah, pembatasan tempat dan waktu, kelihatannya tidak
dapat dihindarkan.
Unsur fakta, baik itu fakta
unik atau fakta umum, merupakan unsure penting dalam pemikiran sejarah yang
merupakan proses untuk memahami dan mengerti masa silam.
2.2
Pernyataan Dalam Pandangan dan Pemikiran
Filsafat sejarah kritis
Sejarah sebagai
aktualitas masa silam menyangkut berbagai masalah, apakah aktualitas itu
berkaitan dengan kedudukan alam semesta atau pada dunia manusia; memang,
sejarah lebih terfokus pada pemikiran hanya pada human events. Jika kita bicara mengenai Sejarah Perancis atau
Sejarah Inggris misalnya, berarti apa yang akan kita ceritakan sangat kompleks
pada human events di Negara-negara.
Kenyataan para ahli
sejarah jarang sekali merumuskan suatu pernyataan umum, mengenai indikasi pokok
tentang perbedaan antara pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu pasti atau alam.
Berarti hal itu kita juga tidak diwajibkan untuk meneliti masalah-masalah
mengenai arti kesahihan, serta legitimasi pernyataan-pernyataan universal.
Yang
dimaksudkan dengan pernyataan historis ialah pernyataan mengenai fakta-fakta
historis, atau seperti juga sering dikatakan, mengenai keadaan-keadaan pada
masa silam. Yang disebut masa silam ialah keseluruhan keadaan itu, bukannya
pernyataan-pernyataan mengenai keadaan-keadaan itu. Sifat keadaan-keadaan itu,
beserta pernyataan-pernyataan kita mengenai kenyataan itu, dapat berbeda-beda.
Kadang-kadang, keadaan atau fakta itu hanya satu kali terjadi, atau merupakan
peristiwa unik. Dalam hubungan ini dapat kita bayangkan misalnya sebuah
pertempuran tertentu (yuda samudera Midway), pakta perdamaian (pakta perdamaian
di Versailles) atau adanya persaingan antara dua bangsa (Inggris dan Prancis
pada abad ke-18). Tetapi, keadaan juga dapat bersifat lebih umum, seperti
misalnya kebudayaan suatu bangsa atau adat istiadat tertentu. Sifat umum iti
kentara dalam ucapan-ucapan yang melukiskan keadaan tersebut. Pernyataan
mengenai fakta yang unik biasanya diungkapkan dalam bentuk tunggal (pada tahun
1919 ditandatangani Perdamaian Versailles), sedangkan yang menguraikan keadaan
yang lebih umum dalam bentuk jamak (pada abad ke-18 para filsuf Fajar Budi di
Prancis memerangi wibawa Gereja Katolik).
Namun,
tidak semua pernyataan umum yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan historis,
juga sungguh merupakan pernyataan-pernyataan mengenai keadaan-keadaan “umum”
tertentu. Misalnya, sebuah pernyataan “semua revolusi merupakan gerakan-gerakan
sosial yang memperjuangkan kemerdekaan”. Ini tidak merupakan sebuah pernyataan
umum mengenai kenyataan historis, melainkan sebuah definisi mengenai kata
revolusi.
Suatu
peristiwa unik selalu ditentukan oleh tempat dan waktunya. Peristiwa unik
mengenai diproklamasikannya kemerdekaan Negara kita terjadi di Pegangsaan Timur
56, pada tanggal 17 Agustus 1945. Contoh baik mengenai keadaan-keadaan umum
kita jumpai dalam ilmu alam. Menurut hukum Newton, dua benda saling menarik
dengan kekuatan yang sebanding lurus dengan massa benda-benda itu dan
berbanding terbalik dengan pangkat dua jarak antara kedua benda itu. Hukum ini
berlaku di mana saja dan kapan saja. Maka dari itu, perbedaan antara keadaan
unik dan keadaan umum masih dapat dirinci sebagai berikut : keadaan
unikditentukan menurut tempat dan waktu, sedangkan keadaan umum tidak
ditentukan oleh tempat dan waktu. Pernyataan yang saling berkaitan dengan
keadaan unik disebut pernyataan singular, sedangkan pernyataan yang melukiskan
keadaan umum disebut pernyataan universal.
Kita
dapat menduga, bahwa dalam ilmu-ilmu eksak pun tidak dapat dirumuskan
pernyataan-pernyataan yang sungguh universa sifatnya. Hukum Newton yang tadi
telah disebut, sebetulnya harus dilengkapi dengan kualifikasi, bahwa hukum itu
berlaku dalm bagian semesta alam yang kita ketahui (jadi suatu pembatasan
menurut tempat dan waktu). Apakah hukum Newton juga berlaku pada jaman dahulu
kala atau di suatu tempat lain di dalam semesta alam, tidak kita ketahui.
Namun, kualifikasi serupa itu tidak pada tempatnya. Hukum-hukum alam
berpretensi mempunyai kesahihan yang universal. Ini kelihatan dari reaksi para
ahli ilmu alam, terhadap gejala-gejala di dalam semesta alam yang tidak selaras
dengan hukum-hukum yang telah mereka rumuskan. Mereka tidak bersikap pasrah
seolah-olah mereka lalu tahu, di mana hukum-hukum mereka berlaku dan dimana
tidak. Andaikata hukum-hukum alam sebetulnya tidak merupakan
pernyataan-pernyataan universal, maka reaksi pasrah itu masuk akal. Sebaliknya,
mereka lalu membatalkan hukum itu atau berusaha untuk menyempurnakannya,
sehingga gejala baru juga terjangkau. Dengan demikian, para ahli ilmu alam
memperoleh pengertian baru mengenai kenyataan fisik. Maka dari itu, hukum-hukum
alam merupakan pernyataan-pernyataan yang sungguh universal, yang berlaku di
mana saja dan kapan saja di dalam semesta alam, tidak terikat akan tempat dan
waktu tertentu.
Namun,
dalm pernayataan-pernyataan umum yang dirumuskan oleh para peneliti sejarah,
pembatasan menurut tempat dan waktu, rupanya tak dapat dihindarkan. Ingat,
misalnya akan pernyataan “Pada abad ke-18, para filsuf Fajar Budi di Prancis
menerangi kewibawaan Gereja”. Acuan kepada tempat dan waktu, entah implisit
atau eksplisit. Sekalipun demikian, dua filsuf Amerika, C.B. Joynt dan N.
Rescher, menemukan suatu penalaran yang sangat canggih untuk memperlihatkan
bahwa pernyataan historis yang umum sebetulnya juga merupakan pernyataan
universal. Contoh yang mereka ajukan bekaitan dengan yuda-yuda samudera pada
abad ke-17 dan ke-18 di Eropa. Pertempuran-pertempuran laut itu biasanya
berlangsung sangat morat-marit. Karena bentuknya, maka kapal-kapal layar pada
abad itu memang sukar dikemudikan (ganti haluan saja minta waktu 20 menit dan
kalau pertempuran sudah dimulai, maka komunikasi antara kapal-kapal sukar
sekali). Kalau kita ingat factor ini, maka tidak mengherankan bahwa yuda-yuda
samudera pada abad ke-17 dan ke-18, berlangsung dengan kacau sekali.
2.3 Kebenaran Dalam Pandangan dan Pemikiran
Filsafat sejarah kritis
Sebuah wacana atau teks
historis, untuk bagian bagian besar terdiri atas pernyataan-pernyataan singular
dan umum mengenai masa silam. Maka pernyataan-pernyataan umum itu tak lain dari
suatu rangkuman mengenai pernyataan-pernyataan singular. Maka dari itu dapat
dikatakan, bahwa sebuah teks historis, pada pokonya, terdiri atas serangkaian
pernyataan singular mengenai masa silam. Satunya-satunya syarat, agar sebuah
teks historis dapat dipercaya, ialah agar ucapan-ucapan singulat itu benar. Dengan
demikian, kita sampai pada pertanyaan, apa yang tepat dimaksudkan bila kita
mengatakan, bahwa salah satu ucapan singular itu “benar” (seterusnya bila di
bawah ini ditulis ucapan/pernyataan singular).
Teori “performance” atau teori tindak bahasa
yaitu teks-teks historis, lebih berpretensi melimpahkan pengetahuan dan tidak
hanya melakukan suatu tindak bahasa. Dengan ucapan-ucapan singular, seorang
ahli sejarah melukiskan masa silam dan tidak bermaksud menunjukkan sesuatu
kepada pembaca atau mengingatkan pembaca akan sesuatu yang sudah diketahuinya.
Maka dari itu, untuk pengkajian sejarah, teori tindak bahasa tidak membeberkan
perspektif-perspektif yang berguna.
Teori Pragmatis,
menurut teori ini, sebuah ucapan benar bila ucapan itu terbukti merupakan
pedoman yang dapat diandalkan bagi perbuatan kita. Teori ini mengaitkan
penerimaan ucapan dengan hasil dalam perbuatan; bila yang pertama menghasilkan
yang kedua, maka ucapan itu benar, bila tidak, maka ucapan itu tidak benar.
Kepercayaan yang benar menuju ke sukses dalam perbuatan.
Dapat dibayangkan,
bahwa teori ini paling sesuai untuk ilmu-ilmu yang hasil penelitiannya dapat
diterapkan dalam praktek. Masuk akal, bahwa kadar kebenaran suatu teori
makanika terbukti kebenarannya, bila jembatan-jembatan yang dibuat menurut
teori itu bertahan. Akan tetapi, penulisan sejarah berkaitan dengan suatu
jangka waktu yang jauh sudah silam; tidak dapat diharapkan, bahwa pengetahuan
historis dapat kita terapkan di masa kini. Kita tidak dapat membayangkan,
bagaimana suatu ucapan singular mengenai suatu kejadian individual pada masa
silam, dapat menjadi pedoman praktis bagi perbuatan kita sekarang.
Masih ada dua teori
lain yang perlu kita tinjau, yakni teori korespondensi dan teori koherensi.
Teori korespondensi untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan benar, bila
terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang dinyatakan dalam ucapan itu
dengan keadaan yang disebut dalam ucapan tadi di dalam kenyataan (historis).
Ucapan “Di sini terdapat sebuah meja” benar, bila (dan hanya bila) di sini
sungguh terdapat sebuah meja. Menurut teori koherensi suatu ucapan benar,
bilamana ucapan itu ada kaitan (ada koherensi) dengan sejumlah ucapan yang
kebenarannya sudah diterima. Kedua teori ini saling melengkapi. Bila bila kita
memilih jalan tengah, maka teori korespondensi menunjukkan apa yang kita maksudkan bila mengatakan bahwa sebuah
pernyataan singular (historis) itu benar sedangkan teori koherensi menunjukkan,
bagaimana kita menetapkan bahwa suatu
pernyataan benar. Secara formal teori korespondensi mendefinisikan konsep kebenaran, sedangkan teori koherensi
menunjukkan kriteria untuk mengecek
kebenaran ucapan itu.
Teori koherensi dan
tesis bahwa pengamatan empiris selalu dilatarbelakangi oleh suatu teori, masih
menghasilkan sebuah kesimpulan lain. Karena konsep-konsep kita, teori-teori
umum serta asumsi-asumsi kita turut menentukan bagaimana kita mengalami
kenyataan (historis) maka konsep-konsep serta teori-teori tersebut dapat kita
umpamakan dengan semacam lampu sorot yang dalam kegelapan menyapu kenyataan empiris
(historis) lalu menyoroti obyek-obyek yang akan mewujudkan keseluruhan dunia
pengalaman (historis) kita ini berarti, bahwa teori konsep dan sebagainya
selalu menunjukkan obyek-obyek mana relevan dan ada artinya untuk diteliti
dalam penetitian historis. Baru bila suatu gejala atau perkembangan historis
disoroti oleh sinar itu, maka dapt menjadi obyek penelitian historis. Selama
masih diliputi kegelapan, kita tidak melihatnya dan juga tidak akan
mebicrakannya. Dengan lain perkataan pengetahuan yang melatarbelakangi kita,
memntukan apa yang kita anggap pantas untuk diteliti. Atau, seperti pernah
dikatakan, seorang penelitu sejarah tidak memasuki arsip dalam keadaan
telanjang, melainkan berdandanan macam-macam teori, konsep, dan asumsi. Pakaian
teoretis itu menentukan, apa yang dianggap benar oleh seorang peneliti sejarah
dan apa yang dianggapnya menpunyai arti untuk dipersoalkan.
Bila kita
mempertimbangkan semuanya ini, maka tak dapat disangsikan, bahwa teori
koherensi (serta tesis mengenai diwarnainya pengamatan empiris oleh teori-teori
kita) lebih dekat pada penelitian sejarah, seperti dilangsungkan serta pada
perkembangan historiografi, daripada teori korespondensi. Namun, ini tidak
mengesampingkan kemungkinan, bahwa dalam keadaan tertentu, para ahli sejarah
dapat “banting stir”, meninggalkan teori-teori serta konsep-konsep yang sampai
saat itu umum mereka terima, lalu mengadakan suatu pendekatan serba baru
terhadap bagian tertentu dalam masa silam. Dalam situasi serupa itu, teori
korespondensi lebih cocok untuk memperoleh suatu gambaran mengenai apa yang
terjadi. Demikian misalnya Pocock melawan pendapat umum, bahwa Locke merupakan
bapak rohani revolusi Amerika. Ia melawan pendapat dan teori yang sampai saat
ini umum diterima, dengan alasan bahwa teori-teori itu tidak benar, tidak
serasi dengan fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta dari masa silam lain dari apa
yang disangka sampai saat itu. Dalam situasi serupa itu, yangs sering
menentukan bagi perkembangan pengkajian sejarah, teori koherensi tidak berdaya.
Justru koherensi yang dengan bentuan teori-teori dan asumsi tradisional
diwujudkan dalam masa silam, ditolak mentah-mentah. Dalam arti tertentu,
seorang ahli sejarah lalu harus memulai kembali dari titik nol, ia harus
kembali pada fakta yang nyata terjadi. Secara seratus persen, itu memang tidak
mungkin. Tetapi ini berarti, bahwa disini tekanan lebih diberikan kepada
korespondensi daripada koherensi. Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa teori
koherensi lebih masuk akal bagi penelitian sejarah biasa. Dalam keadaan luar
biasa, bila penulisan sejarah (mengenai suatu bagian tertentu dalam masa silam)
membelok dari garis tradisi, maka teori korespondensi lebih dapat diandalkan.
Kedua teori mengenai kebenaran, mutlak diperlukan untuk dapat mengreti, apa
yang terjadi dalam penulisan sejarah. Jangan sampai kita dibujuk untuk memilih
yang satu atau yang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Menurut Becker, sebuah fakta historis merupakan suatu lambing bagi suatu
jaringan fakta-fakta yang kait-mengait. Dalam diskusi historis, kebenaran dan
kesahihan fakta-fakta historis ditentukan oleh suatu penelitian mengenai
koherensi fakta-fakta yang kait-mengait dalam jaringan tersebut.
Akhirnya, masih satu catatan penutup.Kita membicarakan kebenaran yang
terdapat dalam pernyataan historis singular.Pernyataan-pernyataan yang
merupakan mata rantai-mata rantai dalam uraian historis dan yang menentukan
dari sudut mana peneliti sejarah memndang masa silam, ada kaitan dengan
keadaan- keadaan tertentu dalam masa silam.Tetapi, kenyataan ini jangan
membujuk kita, seolah-olah sudut itu merupakan suatu deskripsi mengenai sesuatu
yang kita dekati dari sudut tersebut.
Kesimpulan kita ialah, tak ada satu alternative yang membuka jalan yang
memuaskan, untuk mengaitkan keseluruhan pernyataan historis, dengan konsep
kebenaran.Maka dari itu, seyogyanya konsep kebenaran dan ketidakbenaran hanya
dipakai untuk memberi kualifikasi kepada pernyataan-pernyataan singular
mengenai masa silam.Untuk memberi kualifikasi kepada suatu uraian historis
dalam keseluruhannya, lebih baik kita pergunakan konsep-konsep lain, seperti
berguna, penuh arti, atau dapat diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit,
F.R.1987.Refleksi Tentang
Sejarah;Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, Jakarta:
Gramedia
Sundoro,
Hadi. 2009. Teka-teki SejarahBerbagai
Persoalan tentang Filsafat Sejarah. Jember: Jember University Pers
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda