Sabtu, 06 Desember 2014

Filsafat Sejarah



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Secara umum, karakterisasi pekerjaan seorang ahli sejarah tidaklah seperti yang dikemukakan oleh para filsuf sejarah. Pretensi filsuf sejarah terhadap ahli sejarah, masa silam memang terhampar di belakang kita, yang terpenting mengkisahkan tentang masa silam. Tugas ahli sejarah meneliti dan menganalisa tentang masa silam supaya menemukan apa yang kita pikirkan dan dilakukan manusia pada masa silam. Meneliti dan menganalisa peristiwa masa silam, berarti tugas sejarawan adalah menemukan serta memaparkan fakta-fakta sejarah.
Membahasa fakta sebagai dasar pengkajian sejarah berkaitan antara peran para sejarawan dan fakta-fakta mereka. Menurut pendapat Sir Geoffrey Elton, ia mengatakan bahwa: a hictorical fact was something that happened in the past, which left traces in documents wich could be used by historian to reconstruct in the present. Sumber sejarah yang ditinggalkan kepada kita harus dibaca secara hati-hati , teliti, dalam konteks kekinian, sejarawan berusaha untuk memperoleh kebenaran dari jejak peninggalan masa silam.
Sejara sebagai peristiwa masa silam tidak memberi jawaban terhadap kepentingan masa silam, tetapi pada kepentingan masa kini, masa sekarang. Tentunya, pemahaman mengenai masa kini, mas sekarang, atau masa kontemporer merupakan kontinuitas atau suatu terusan mengenai waktu, zaman, ditinjau sebagai masa silam yang paling baru. Apakah hal itu dihitung dari 50 tahun yang terakhir, puluhan tahun, satu tahun, sehari atau sesungguhnya dari satu jam atau satu menit yang terakhir.
Oleh karena itulah, kami mengambil judul makalah kami yaitu “PANDANGAN dan PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH KRITIS tentang  (Fakta, Pernyataan, dan Kebenaran)”.


1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat di tarik sebuah rumusan masalah dalam pembahasan makalah makalah ini diantaranya:
1.2.1                    Bagaimana fakta sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis ?
1.2.2                    Bagaimana pernyataan sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis ?
1.2.3                    Bagaimana kebenaran dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis ?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini, antara lain adalah:
1.3.1                    Untuk mengetahui fakta sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis;
1.3.2                    Untuk mengetahui pernyataan sejarah dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis;
1.3.3                    Untuk mengetahui kebenaran dalam pandangan dan pemikiran filsafat sejarah kritis.












BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Fakta Sejarah Dalam Pandangan dan Pemikiran Filsafat sejarah kritis
A.    Fakta Sejarah Menurut Carl L. Becker
Sebagian besar sejarawan condong memandang fakta sejarah sebagai dasar pengkajian sejarah yang mutlak dan dapat diandalkan. Fakta dapat ditentukan dengan kepastian yang praktis tidak dapat disangsikan dan, jika terjadi kesangsian, maka dalam praktik ini dapat dipecahkan. Tetapi, andaikata ada rasa keraguan, biasanya tidak timbul kesukaran.
Mensitir perkataan Carl L. Becker, seorang ahli sejarah berkebangsaan Amerika, ia membedakan dua jenis fakta, yakni hard fact (fakta keras) dan cold fact (fakta lunak). Hard fact, diartikan sebagai fakta yang sudah stabil, sudah jelas, tidak tergoyahkan lagi. Sepertiperistiwa bulan Agustus 1914 telah terjadi meletusnya Perang Dunia I, hal ini termasuk hard fact. Sedangkan Cold fact, diartikan sebagai fakta yang masih menyangsikan, kurang memadai, masih diselidiki lagi kebenarannya.
B.     Fakta Sejarah
Mengenai fakta historis, dapat diberikan suatu gambaran, ketika para ahli sejarah Jerman pada pertengahan abad ke-19 meneliti adat kebiasaan suku-suku Jerman primitive. Mereka mendapatkan suatu institusi komunal yang mereka namakan suku Jerman primitive atau Teutonic Mark. Sejarawan Jerman yang hidup pada masa itu telah terilhami oleh tulisan sejarawan Romawi, Tacitus yang menulis sebuah buku berjudul Germania, di antaranya mengisahkan masa pemerintahan Caesar yang tengah berperang dengan suku-suku primitive Jerman atau yang disebut Suku Teutonic. Suku-suku primitive Jerman merupakan historical facts. Oleh para sejarawan Jerman abad 19, dapat saja Suku Teutonic sebagai historical facts kemudian diedit atau diberi “bumbu-bumbu penyedap” sehingga cerita itu mengarah sebagai suatu cerita mite yang tidak sesuai dengan kenyataan sejarah. Mereka tidak langsung mengalami sendiri ketika masa pemerintahan Julius Caesar. Mereka memperoleh bekas-bekas peninggalan atau pernyataan tentang peristiwa itu.
Berdasarkan berbagai uraian mengenai fakta sejarah, Carl LBecker mencoba untuk memberikan keterangan singkat, bahwa yang dimaksud fakta sejarah selalu dikonstruksi atau disusun oleh peneliti sejarah. Fakta-fakta sejarah selalu merupakan kancah perdebatan antar para ahli sejarah. Memang, para ahli sejarah sering berdebat dengan mengajukan suatu pertanyaan, bagaimanakah fakta sejarah itu harus diartikan. Fakta-fakta tidak atau jarang sekali merupakan bahan keterangan yang absolute atau mutlak. Fakta itu harus dilihat dari berbagai serta diberlakukan dengan berhati-hati.
Berbicara masalah dimana terdapat fakta sejarah, fakta sejarah perlu memperhatikan kredibilitas sumber. Terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut kredibilitas sumber. Beberapa hal diantaranya kesaksian tidak langsung, testimony dalam jejak peninggalan, dan berbagai masalah yang timbul dalam kredibilitas. Melalui fakta sejarah kita dapat memperoleh informasi sejarah yang diperlukan.
Sering kita dengar dari sejarawan, bahwa ia memakai semboyan “masa silam demi masa silam”. Artinya, seorang sejarawan yang mempelajari sesuatu hal yang telah silam, yang lampau, demi hal yang lampau itu sendiri dan secara terisolasi dari hal-hal lain, mungkin memberikan sumbangan penting kepada pengetahuan, tidak hanya mengenai hal itu tetapi juga mengenai lingkungannya; setidak-tidaknya ia dapat menghindarkan hilangnya pengetahuan mengenai hal itu.
Berdasarkan pendapat Carl L.Becker, fakta sejarah terdapat dalam benak para peniliti sejarah yang terlibat dalam diskusi mengenai fakta sejarah yang bersangkutan. Mengenai terdapat fakta sejarah, berikut ini diberikan ilustrasi mengenai peristiwa pembunuhan Abraham Lincolin di Fords Theater, Washington, pada 14 April 1865. Peristiwa itu merupakan fakta sejarah. Kemudian, bahwa fakta sejarah selalu berada dalam pikiran atau ingatan seseorang. Tetapi juga bahwa fakta sejarah terdapat pula dalam sumber-sumber sejarah, catatan-catatan sejarah. Perlu diketahui bahwa sumber sejarah itu tidak dibuat oleh peristiwa itu sendiri, tetapi oleh seseorang yang melalui pikirannya atau ingatannya memiliki suatu imajinasi mengenai pembunuhan Lincolin. Pola-pola itu adalah “sejarah dari peristiwa tersebut” oleh para peniliti sejarah tentunya fakta sejarah harus dipisahkan apakah kisah sejarah tersebut melalui karya-karya sejarawan, gambar-gambar, film, imajinasi seseorang mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi.
Memang apakah pembunuhan Lincolin pada 14 April 1865 persis seperti yang dikisahkan oleh seorang ahli sejarah? Bukankah peristiwa pembunuhan Lincolin berlangsung sangat cepat. Kita sekarang mengetahui bahwa kenyataan sejarah tidak dapat dicakupi oleh satu atau dua prinsip saja, melainkan bahwa kenyataan itu hanya dapat ditangkap di dalam penglihatan berbagai prinsip sekaligus. Kenyataan sejarah hanya dapat dilihat dari sudut pandang yang bersifat majemuk, yang multiple itu. Kenyataan sejarah menjadi polyinterpretable. 
Bilamana terjadi fakta sejarah, kita setuju terhadap pendapat apa yang disebut kontemporer atau masa sekarang ini, adalah merupakan pertautan antara masa silam dengan masa depan atau masa yang akan datang. Berarti pengertian masa silam itu adalah relative tidak dapat diukur atau dibatasi oleh dimensi waktu tertentu. Apabila kita berfilsafat, bahwa peristiwa yang terjadi telah berlangsung satu jam yang lalu misalnya, itu dapat dikatakan sebagai peristiwa masa silam. Maka, masa sekarang atau kontemporer sudah lampau.
Memang, ide masa silam dapat memberikan suatu inspirasi terhadap masa depan. Kita menyadari bahwa semua peristiwa masa silam tidak mungkin dapat dicatat atau direkam secara lengkap. Ingatan terhadap masa silam pada hakikatnya amat terbatas. Lebih-lebih jika peristiwa masa silam terjadi dalam kurun waktu lama. Di kalangan ahli sejarah itu sendiri timbul diskusi mengenai fakta sejaah itu sendiri. Menurut Carl L. Becker, pertanyaannya “bilamana itu terjadi fakta hisroris”?, hendaknya dijawab “fakta historis adalah kontemporer dengan diskusi yang dilangsungkan mengenai fakta itu”.
Berikut ini diambilkan suatu fakta sederhana: “Lincolin dibunuh di Fords Theater, di Washington, pada 14 April 1865.” Fakta itu belum atau tidak keseluruhannya lengkap. Jika kita memperoleh fakta lengkap, sebagai representasi dari semua fakta, barangkali representasi itu hanya memuaskan bagi seorang ahli sejarah. Tetapi sejarawan lain, dalam benak mereka merasa tidak atau belm puas.
Ambillah sebagai fakta historis yang kelihatan tak ada cela apapun, yakni Panglima Julius Caesar tahun 49 SM, menyeberangi Sungai Rubikon di Italia Utara. Unsur-unsur manakah dapat dibedakan dalam fakta ini penting, karena seorang panglima Romawi menyeberangi sebuah sungai kecil di Italia Utara? Tentu saja, fakta sejarah ini jauh lebih luas jangkauannya. Pertama-tama, Caesar itu tidak sendirian, melainkan disertai oleh pasukan-pasukannya. Selain itu, Sungai Rubikon bukan sembarang sungai, melainkan tapal batas utara yang membatasi kawasan kekuasaan senat. Seorang jenderal yang ditugaskan di luar Italia, tidak boleh begitu saja memasuki daerah wewenang Senat. Akhirnya tidak sukarlah menghubungkan peristiwa itu dengan berbagai perkembangan penting dalam sejarah Republik Roma., seperti misalnya berakhirnya perang saudara, diawali masa kediktatoran Julius Caesar yang membuka jalan bagi kaisar pertama, Augustus, dan seterusnya. Singkatnya, penyeberangan sungai Rubikon itu ternyata merupakan sebuah peristiwa majemuk. Pernyataan “Caesar menyebrangi Sungai Rubikon”, sebetulnya hanya merupakan sebuah lambang, seperti yang dikatakan Becker, bagi peristiwa-peristiwa yang sngat majemuk itu.
Saran Becker untuk memandang fakta historis itu sebagai sebuah lambang bagi segala sesuatu yang dikaitkan oleh para ahli sejarah dengan istilah “istilah” fakta historis (misalnya Caesar menyeberangi Sungai Rubikon), ada segi-seginya yang menarik, tetapi juga yang kurang menarik. Memang para ahli sejarah sering berdiskusi mengenai pertanyaan, bagaimana sebuah fakta historis harus diartikan, tetapi dari lain pihak, pertanyaan mengenai di mana dan bilamana sebuah fakta historis terjadi, kedengaran agak aneh dan jawaban Becker terhadap pertanyaan itu lebih aneh lagi.
Dalam filsafat sejarah tak ada suatu kesalahan yang demikian sering dan suka dilakukan oleh para filsuf daripada mengacaukan fakta dengan omongan kita mengenai fakta itu. Kekacauan ini demikian umum terjadi , sehingga kita hampir ingin bertanya, apakah dalam pengkajian sejarah ada alasan untuk menghapuskan saja perbedaan tersebut. Sebuah contoh yang cukup menonjol bagaimana bahasa dan kenyataan dikacaukan, terdapat dalam dialektika Marx. Seperti umum  diketahui, maka bagi Marx kontradiksi antara daya-daya produksi dan perimbangan produksi merupakan penggerak proses historis. Tetapi daya-daya produksi dan perimbangan-perimbangan produksi merupakan bagian-bagian atau segi-segi dalam masa silam sendiri, maka dari itu tak pernah dapat saling kontradiksi. Mawar putih tidak merupakan “sanggahan” atau kontradiksi terhadap mawar merah. Hanya ucapan mengenai kenyataan (historis) (seperti “barang ini putih” dan “barang ini merah”), dapat mengandung kontradiksi.
C.    Fakta Unik dan Fakta General
Seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa fakta unik terdapat dalam suatu peristiwa yang hanya satu kali terjadi. Pada hakikatnya, keadaan-keadaan unik dan umum tidak terdapat garis pemisah yang tegas, mutlak, antara keadaan unik dan general atau umum.
Fakta unik selalu ditentukan oleh tempat dan waktunya. Faktor fakta unik, merupakan proses untuk dapat memahami masa silam, diakui umum di dunia masa kini sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari. Yang paling penting adalah pengertian waktu sebagai sesuatu yang langgeng dan berurutan. Para ahli sejarah kontemporer memandang waktu dan berlakunya waktu dengan kecepatan yang teratur dan yang dapat diukur, sebagai pangkal pemikiran sejarah oleh karena dan cirri-ciri khasnya itu dapat diuraikan sebagai sesuatu yang mutlak dalam sejarah. Namun, hendaknya perlu diperhatikan bahwa fakta janganlah dianggap sebagai bahan keterangan yang abstrak atau mutlak. Fakta itu harus dilihat dari berbagai sudut pandang serta diperlakukan dengan berhati-hati sekali. Sering pernyataan singular.
Sama seperti halnya fakta unik, pada fakta umum atau pernyataan-pernyataan umum yang dirumuskan oleh para peneliti sejarah, pembatasan tempat dan waktu, kelihatannya tidak dapat dihindarkan.
Unsur fakta, baik itu fakta unik atau fakta umum, merupakan unsure penting dalam pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk memahami dan mengerti masa silam.
2.2 Pernyataan Dalam Pandangan dan Pemikiran Filsafat sejarah kritis
Sejarah sebagai aktualitas masa silam menyangkut berbagai masalah, apakah aktualitas itu berkaitan dengan kedudukan alam semesta atau pada dunia manusia; memang, sejarah lebih terfokus pada pemikiran hanya pada human events. Jika kita bicara mengenai Sejarah Perancis atau Sejarah Inggris misalnya, berarti apa yang akan kita ceritakan sangat kompleks pada human events di Negara-negara.
Kenyataan para ahli sejarah jarang sekali merumuskan suatu pernyataan umum, mengenai indikasi pokok tentang perbedaan antara pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu pasti atau alam. Berarti hal itu kita juga tidak diwajibkan untuk meneliti masalah-masalah mengenai arti kesahihan, serta legitimasi pernyataan-pernyataan universal.
Yang dimaksudkan dengan pernyataan historis ialah pernyataan mengenai fakta-fakta historis, atau seperti juga sering dikatakan, mengenai keadaan-keadaan pada masa silam. Yang disebut masa silam ialah keseluruhan keadaan itu, bukannya pernyataan-pernyataan mengenai keadaan-keadaan itu. Sifat keadaan-keadaan itu, beserta pernyataan-pernyataan kita mengenai kenyataan itu, dapat berbeda-beda. Kadang-kadang, keadaan atau fakta itu hanya satu kali terjadi, atau merupakan peristiwa unik. Dalam hubungan ini dapat kita bayangkan misalnya sebuah pertempuran tertentu (yuda samudera Midway), pakta perdamaian (pakta perdamaian di Versailles) atau adanya persaingan antara dua bangsa (Inggris dan Prancis pada abad ke-18). Tetapi, keadaan juga dapat bersifat lebih umum, seperti misalnya kebudayaan suatu bangsa atau adat istiadat tertentu. Sifat umum iti kentara dalam ucapan-ucapan yang melukiskan keadaan tersebut. Pernyataan mengenai fakta yang unik biasanya diungkapkan dalam bentuk tunggal (pada tahun 1919 ditandatangani Perdamaian Versailles), sedangkan yang menguraikan keadaan yang lebih umum dalam bentuk jamak (pada abad ke-18 para filsuf Fajar Budi di Prancis memerangi wibawa Gereja Katolik).
Namun, tidak semua pernyataan umum yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan historis, juga sungguh merupakan pernyataan-pernyataan mengenai keadaan-keadaan “umum” tertentu. Misalnya, sebuah pernyataan “semua revolusi merupakan gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan kemerdekaan”. Ini tidak merupakan sebuah pernyataan umum mengenai kenyataan historis, melainkan sebuah definisi mengenai kata revolusi.
Suatu peristiwa unik selalu ditentukan oleh tempat dan waktunya. Peristiwa unik mengenai diproklamasikannya kemerdekaan Negara kita terjadi di Pegangsaan Timur 56, pada tanggal 17 Agustus 1945. Contoh baik mengenai keadaan-keadaan umum kita jumpai dalam ilmu alam. Menurut hukum Newton, dua benda saling menarik dengan kekuatan yang sebanding lurus dengan massa benda-benda itu dan berbanding terbalik dengan pangkat dua jarak antara kedua benda itu. Hukum ini berlaku di mana saja dan kapan saja. Maka dari itu, perbedaan antara keadaan unik dan keadaan umum masih dapat dirinci sebagai berikut : keadaan unikditentukan menurut tempat dan waktu, sedangkan keadaan umum tidak ditentukan oleh tempat dan waktu. Pernyataan yang saling berkaitan dengan keadaan unik disebut pernyataan singular, sedangkan pernyataan yang melukiskan keadaan umum disebut pernyataan universal.
Kita dapat menduga, bahwa dalam ilmu-ilmu eksak pun tidak dapat dirumuskan pernyataan-pernyataan yang sungguh universa sifatnya. Hukum Newton yang tadi telah disebut, sebetulnya harus dilengkapi dengan kualifikasi, bahwa hukum itu berlaku dalm bagian semesta alam yang kita ketahui (jadi suatu pembatasan menurut tempat dan waktu). Apakah hukum Newton juga berlaku pada jaman dahulu kala atau di suatu tempat lain di dalam semesta alam, tidak kita ketahui. Namun, kualifikasi serupa itu tidak pada tempatnya. Hukum-hukum alam berpretensi mempunyai kesahihan yang universal. Ini kelihatan dari reaksi para ahli ilmu alam, terhadap gejala-gejala di dalam semesta alam yang tidak selaras dengan hukum-hukum yang telah mereka rumuskan. Mereka tidak bersikap pasrah seolah-olah mereka lalu tahu, di mana hukum-hukum mereka berlaku dan dimana tidak. Andaikata hukum-hukum alam sebetulnya tidak merupakan pernyataan-pernyataan universal, maka reaksi pasrah itu masuk akal. Sebaliknya, mereka lalu membatalkan hukum itu atau berusaha untuk menyempurnakannya, sehingga gejala baru juga terjangkau. Dengan demikian, para ahli ilmu alam memperoleh pengertian baru mengenai kenyataan fisik. Maka dari itu, hukum-hukum alam merupakan pernyataan-pernyataan yang sungguh universal, yang berlaku di mana saja dan kapan saja di dalam semesta alam, tidak terikat akan tempat dan waktu tertentu.
Namun, dalm pernayataan-pernyataan umum yang dirumuskan oleh para peneliti sejarah, pembatasan menurut tempat dan waktu, rupanya tak dapat dihindarkan. Ingat, misalnya akan pernyataan “Pada abad ke-18, para filsuf Fajar Budi di Prancis menerangi kewibawaan Gereja”. Acuan kepada tempat dan waktu, entah implisit atau eksplisit. Sekalipun demikian, dua filsuf Amerika, C.B. Joynt dan N. Rescher, menemukan suatu penalaran yang sangat canggih untuk memperlihatkan bahwa pernyataan historis yang umum sebetulnya juga merupakan pernyataan universal. Contoh yang mereka ajukan bekaitan dengan yuda-yuda samudera pada abad ke-17 dan ke-18 di Eropa. Pertempuran-pertempuran laut itu biasanya berlangsung sangat morat-marit. Karena bentuknya, maka kapal-kapal layar pada abad itu memang sukar dikemudikan (ganti haluan saja minta waktu 20 menit dan kalau pertempuran sudah dimulai, maka komunikasi antara kapal-kapal sukar sekali). Kalau kita ingat factor ini, maka tidak mengherankan bahwa yuda-yuda samudera pada abad ke-17 dan ke-18, berlangsung dengan kacau sekali.


2.3  Kebenaran Dalam Pandangan dan Pemikiran Filsafat sejarah kritis
Sebuah wacana atau teks historis, untuk bagian bagian besar terdiri atas pernyataan-pernyataan singular dan umum mengenai masa silam. Maka pernyataan-pernyataan umum itu tak lain dari suatu rangkuman mengenai pernyataan-pernyataan singular. Maka dari itu dapat dikatakan, bahwa sebuah teks historis, pada pokonya, terdiri atas serangkaian pernyataan singular mengenai masa silam. Satunya-satunya syarat, agar sebuah teks historis dapat dipercaya, ialah agar ucapan-ucapan singulat itu benar. Dengan demikian, kita sampai pada pertanyaan, apa yang tepat dimaksudkan bila kita mengatakan, bahwa salah satu ucapan singular itu “benar” (seterusnya bila di bawah ini ditulis ucapan/pernyataan singular).
Teori “performance” atau teori tindak bahasa yaitu teks-teks historis, lebih berpretensi melimpahkan pengetahuan dan tidak hanya melakukan suatu tindak bahasa. Dengan ucapan-ucapan singular, seorang ahli sejarah melukiskan masa silam dan tidak bermaksud menunjukkan sesuatu kepada pembaca atau mengingatkan pembaca akan sesuatu yang sudah diketahuinya. Maka dari itu, untuk pengkajian sejarah, teori tindak bahasa tidak membeberkan perspektif-perspektif yang berguna.
Teori Pragmatis, menurut teori ini, sebuah ucapan benar bila ucapan itu terbukti merupakan pedoman yang dapat diandalkan bagi perbuatan kita. Teori ini mengaitkan penerimaan ucapan dengan hasil dalam perbuatan; bila yang pertama menghasilkan yang kedua, maka ucapan itu benar, bila tidak, maka ucapan itu tidak benar. Kepercayaan yang benar menuju ke sukses dalam perbuatan.
Dapat dibayangkan, bahwa teori ini paling sesuai untuk ilmu-ilmu yang hasil penelitiannya dapat diterapkan dalam praktek. Masuk akal, bahwa kadar kebenaran suatu teori makanika terbukti kebenarannya, bila jembatan-jembatan yang dibuat menurut teori itu bertahan. Akan tetapi, penulisan sejarah berkaitan dengan suatu jangka waktu yang jauh sudah silam; tidak dapat diharapkan, bahwa pengetahuan historis dapat kita terapkan di masa kini. Kita tidak dapat membayangkan, bagaimana suatu ucapan singular mengenai suatu kejadian individual pada masa silam, dapat menjadi pedoman praktis bagi perbuatan kita sekarang.
Masih ada dua teori lain yang perlu kita tinjau, yakni teori korespondensi dan teori koherensi. Teori korespondensi untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan benar, bila terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang dinyatakan dalam ucapan itu dengan keadaan yang disebut dalam ucapan tadi di dalam kenyataan (historis). Ucapan “Di sini terdapat sebuah meja” benar, bila (dan hanya bila) di sini sungguh terdapat sebuah meja. Menurut teori koherensi suatu ucapan benar, bilamana ucapan itu ada kaitan (ada koherensi) dengan sejumlah ucapan yang kebenarannya sudah diterima. Kedua teori ini saling melengkapi. Bila bila kita memilih jalan tengah, maka teori korespondensi menunjukkan apa yang kita maksudkan bila mengatakan bahwa sebuah pernyataan singular (historis) itu benar sedangkan teori koherensi menunjukkan, bagaimana kita menetapkan bahwa suatu pernyataan benar. Secara formal teori korespondensi mendefinisikan konsep kebenaran, sedangkan teori koherensi menunjukkan kriteria untuk mengecek kebenaran ucapan itu.
Teori koherensi dan tesis bahwa pengamatan empiris selalu dilatarbelakangi oleh suatu teori, masih menghasilkan sebuah kesimpulan lain. Karena konsep-konsep kita, teori-teori umum serta asumsi-asumsi kita turut menentukan bagaimana kita mengalami kenyataan (historis) maka konsep-konsep serta teori-teori tersebut dapat kita umpamakan dengan semacam lampu sorot yang dalam kegelapan menyapu kenyataan empiris (historis) lalu menyoroti obyek-obyek yang akan mewujudkan keseluruhan dunia pengalaman (historis) kita ini berarti, bahwa teori konsep dan sebagainya selalu menunjukkan obyek-obyek mana relevan dan ada artinya untuk diteliti dalam penetitian historis. Baru bila suatu gejala atau perkembangan historis disoroti oleh sinar itu, maka dapt menjadi obyek penelitian historis. Selama masih diliputi kegelapan, kita tidak melihatnya dan juga tidak akan mebicrakannya. Dengan lain perkataan pengetahuan yang melatarbelakangi kita, memntukan apa yang kita anggap pantas untuk diteliti. Atau, seperti pernah dikatakan, seorang penelitu sejarah tidak memasuki arsip dalam keadaan telanjang, melainkan berdandanan macam-macam teori, konsep, dan asumsi. Pakaian teoretis itu menentukan, apa yang dianggap benar oleh seorang peneliti sejarah dan apa yang dianggapnya menpunyai arti untuk dipersoalkan.
Bila kita mempertimbangkan semuanya ini, maka tak dapat disangsikan, bahwa teori koherensi (serta tesis mengenai diwarnainya pengamatan empiris oleh teori-teori kita) lebih dekat pada penelitian sejarah, seperti dilangsungkan serta pada perkembangan historiografi, daripada teori korespondensi. Namun, ini tidak mengesampingkan kemungkinan, bahwa dalam keadaan tertentu, para ahli sejarah dapat “banting stir”, meninggalkan teori-teori serta konsep-konsep yang sampai saat itu umum mereka terima, lalu mengadakan suatu pendekatan serba baru terhadap bagian tertentu dalam masa silam. Dalam situasi serupa itu, teori korespondensi lebih cocok untuk memperoleh suatu gambaran mengenai apa yang terjadi. Demikian misalnya Pocock melawan pendapat umum, bahwa Locke merupakan bapak rohani revolusi Amerika. Ia melawan pendapat dan teori yang sampai saat ini umum diterima, dengan alasan bahwa teori-teori itu tidak benar, tidak serasi dengan fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta dari masa silam lain dari apa yang disangka sampai saat itu. Dalam situasi serupa itu, yangs sering menentukan bagi perkembangan pengkajian sejarah, teori koherensi tidak berdaya. Justru koherensi yang dengan bentuan teori-teori dan asumsi tradisional diwujudkan dalam masa silam, ditolak mentah-mentah. Dalam arti tertentu, seorang ahli sejarah lalu harus memulai kembali dari titik nol, ia harus kembali pada fakta yang nyata terjadi. Secara seratus persen, itu memang tidak mungkin. Tetapi ini berarti, bahwa disini tekanan lebih diberikan kepada korespondensi daripada koherensi. Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa teori koherensi lebih masuk akal bagi penelitian sejarah biasa. Dalam keadaan luar biasa, bila penulisan sejarah (mengenai suatu bagian tertentu dalam masa silam) membelok dari garis tradisi, maka teori korespondensi lebih dapat diandalkan. Kedua teori mengenai kebenaran, mutlak diperlukan untuk dapat mengreti, apa yang terjadi dalam penulisan sejarah. Jangan sampai kita dibujuk untuk memilih yang satu atau yang lain.



















BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Menurut Becker, sebuah fakta historis merupakan suatu lambing bagi suatu jaringan fakta-fakta yang kait-mengait. Dalam diskusi historis, kebenaran dan kesahihan fakta-fakta historis ditentukan oleh suatu penelitian mengenai koherensi fakta-fakta yang kait-mengait dalam jaringan tersebut.
Akhirnya, masih satu catatan penutup.Kita membicarakan kebenaran yang terdapat dalam pernyataan historis singular.Pernyataan-pernyataan yang merupakan mata rantai-mata rantai dalam uraian historis dan yang menentukan dari sudut mana peneliti sejarah memndang masa silam, ada kaitan dengan keadaan- keadaan tertentu dalam masa silam.Tetapi, kenyataan ini jangan membujuk kita, seolah-olah sudut itu merupakan suatu deskripsi mengenai sesuatu yang kita dekati dari sudut tersebut.
Kesimpulan kita ialah, tak ada satu alternative yang membuka jalan yang memuaskan, untuk mengaitkan keseluruhan pernyataan historis, dengan konsep kebenaran.Maka dari itu, seyogyanya konsep kebenaran dan ketidakbenaran hanya dipakai untuk memberi kualifikasi kepada pernyataan-pernyataan singular mengenai masa silam.Untuk memberi kualifikasi kepada suatu uraian historis dalam keseluruhannya, lebih baik kita pergunakan konsep-konsep lain, seperti berguna, penuh arti, atau dapat diterima.





DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R.1987.Refleksi Tentang Sejarah;Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, Jakarta: Gramedia
Sundoro, Hadi. 2009. Teka-teki SejarahBerbagai Persoalan tentang Filsafat Sejarah. Jember: Jember University Pers

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda