Sabtu, 13 Desember 2014

REORIENTASI DAN REORGANISASI



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
       Krisis yang melandanya Indonesia oleh pengaruh malaise dan diangkatnya de Jonge sebagai Gubernur Jendral yang baru pada tahun 1931 yang sangat reaksioner ternyata telah memberi akibat yang sangat buruk bagi Indonesia, baik dalam segi sosial-ekonomi maupun kehidupan politik. Sesuai dengan keadaan kehidupan sosial-ekonomi yang sangat tertekan akibat depresi ekonomi. Apalagi kehidupan di bidang politik memang sangat ditekan sekali oleh pemerintah de Jonge. Dalam kehidupan politik, gerakan yang tidak radikal itu telah didorong ke arah politik non-radikal, justru seharusnya pemerintah yangb mendorong mereka ke arah politik kooperasi.
Dibawah tekanan politik Gubernur Jendral de Jonge politik non kooperasi menjadi lumpuh, akibatnya muncul kaum kooperator yang di dalam Volksraad. Dalam masa itu muncullah Petisi Soetarjo pada tahun 1936 yang berisi usul Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak lepas dari kerja sama Belanda, dan GAPI pada tanggal 21 Mei 1939 yang merupakan kerja sama partai-partai politik dan organisasi-organisasi di Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1        Apa yang melatar belakangi timbulnya Reorientasi dan Reorganisasi di Indonesia?
1.2.2        Bagaimana Reorientasi dan Reorganisasi itu?
1.2.3        Bagaimana pembentukan Petisi Soetardjo?
1.2.4        Bagaimana sikap-sikap terhadap adanya Petisi Soetardjo?
1.2.5        Bagaimana usaha pembentukan badan persatuan dalam menghadapi politik kolonial?
1.2.6        Apa alasan dibentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI)?
1.2.7        Bagaimana aksi GAPI dalam “Indonesia Berparlemen”?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan penulisan makalah, yaitu:
1.3.1        Mengetahui latar belakang timbulnya Reorientasi dan Reorganisasi di Indonesia;
1.3.2        Mengerti tentang Reorientasi dan Reorganisasi;
1.3.3        Mengetahui tentang pembentukan Petisi Soetardjo;
1.3.4        Mengetahui berbagaisikap terhadap adanya Petisi Soetardjo;
1.3.5        Mengetahui usaha pembentukan badan persatuan dalam menghadapi politik kolonial;
1.3.6        Mengerti alasan dibentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI);
1.3.7        Mengetahui aksi GAPI dalam rangka aksi “Indonesia Berparlemen”.



















BAB 2. PEMBAHASAN


2.1  Krisis Dunia dan Politik Kolonial
      Pada tahun 1930-ankeadaan ekonomi bangsa Indonesia yang hidup tiba-tiba berubah karena depresi ekonomi yang melanda dunia, demikian juga di Indonesia ada tanda bahwa kemakmuran yang tampak pada akhir tahun 1920-an tidak akan bertahan lama. Harga beberapa produk Indonesia menurun, pengangguran kesempatan kerja, pemotongan gaji, dan rendahnya upah. Kesemuanya itu merupakan akibat dari politik ekonomi yang pada satu pihak menjalankan penghematan secara besar-besaran dan dipihak lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mau tidak mau mengurangi daya beli negara-negara pengimpor.
Pada tahun 1930, sebanyak 52% dari produk-produk ini diekspor ke negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara. Krisis ekonomi di kedua daratan ini yang berakibat diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh, ditambah dengan harga-harga yang menurun, tiba-tiba menjerumuskan Indonesia ke dalam suatu krisis ekonomi yang tak pernah sepenuhnya teratasi sebelum penaklukan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942.
Fluktuasi harga tadinya telah menjadi fenomena umum, tetapi kini harga untuk seluruh ekspor utama Indonesia turun secara bersamaan dan menimbulkan bencana. Volume ekspor juga turun karena menciutnya pasar dan diberlakukannya kebijakan proteksi. Untuk mempertahankan tingkat keuntungan maka penurunan upah dijalankan dan dilaksanakan pemecatan kaum buruh.
Dalam ekonomi dualistis pihak ekonomi pertanian tradisionallah yang memperoleh tekanan paling berat. Pada kenyataanya, setelah lebih dari satu abad berlangsung, depresi akhirnya menyebabkan ekspor Indonesia tidak lagi didominasi oleh gula dan kopi. Orang-orang Jawa yang bekerja pada perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur mulai kembali lagi ke daerahnya karena kesempatan kerja sudah tidak ada lagi disana. Akibatnya, pendapatan Indonesia diluar Jawa lebih merosot dibandingkan dengan di Jawa, tetapi krisis memang memukul semua wilayah.
Pemerintah kolonial Belanda tidak lagi menggunakan naluri ekonomi laissez-fairenya dalam rangka meredakan tingkat bencana. Salah satu kesulitan terbesar Batavia muncul dari penetrasi Jepang yang tiba-tiba terhadap ekonomi Indonesia. Yang mana pada tahun 1929-1930, Jepang mengisi 10% dari nilai total impor Indonesia. Sementara Belanda masih terpaku pada standar emas hingga September 1936, Jepang mendevaluasikan yen pada tahun 1931 dan selanjutnya dengan cepat  menggantikan posisi Belanda dalam impor Indonesia.
Pada tahun 1934, negosiasi dengan Jepang untuk membatasi penetrasi impornya gagal. Kemudian pada tahun 1936, Batavia dan Tokyo sudah mencapai kesepahaman informal tentang masalah perdagangan. Impor Jepang pun turun 25% dari total nilai impor Indonesia pada tahun 1937 dan akhirnya kalah dibandingkan dengan impor Belanda pada tahun 1938. Karena Jepang didorong keluar dari pasar yang telah mereka masuki, bangsa Indonesia mendapatkan barang-barang yang lebih mahal sebagai pengganti barang-barang Jepang yang murah.
Dampak krisis ini terhadap bangsa Indonesia jelas sangat serius. Para pemikir Indonesia cenderung kembali ke pertanian untuk menyambung hidup, namun juga benar bahwa banyak diantaranya tidak memiliki kesempatan itusama sekali. Dalam kenyataanya, ketersediaan bahan makanan untuk per kapita menurun dari tahun 1930 hinggatahun1934. Sungguh tidak diragukan lagi bahwa setidaknya hingga akhir tahun 30-an kesejahteraan Indonesia menurun. Bagi banyak orang Indonesia, zaman tetap saja sangat sulit sampai ke masa penaklukan Jepang.
     Seperti halnya tidak ada alasan untuk optimis dalam bidang ekonomi pada tahun 1930-an, demikian pula tidak ada alasan yang sama di bidang politik. Jelaslah bahwa kepentingan kaum perkebunan dijadikan dasar politik ekonomi pemerintah Hindia Belanda itu tidak lain karena hasilnya menjadi tulang punggung perekonomian pemerintah kolonial, disamping itu juga karena pemerintah Belanda benar-benar telah condong ke kanan. Golongan kepentingan itulah yang sangat berpengaruh, terutama golongan Vaderlandse Club (VC), yang sikapnya sangat reaksioner terhadap gerakan nasionalis. VC tidakbersedia memberi konsesi apapun oleh karena Negeri Belanda masih bertanggung jawab penuh atas jalanya pemerintahan di Hindia Belanda, lagi pula bangsa Indonesia dianggap belum masak untuk melakukan pemerintahan sendiri. Cita-cita seperti penentuan nasib sendiri, kemerdekaan, dan demokrasi, kesemuanya itu hanyalah gagasan liar pemimpin-pemimpin fanatik yang ekstremis. GJ de Greaff yang liberal tidak berdaya menghindari tekanan golongan konservatif, lebih-lebih GJ de Jonge yang menjabat sebagai gubernur jendral antara tahun 1931 dan tahun 1936 mantan menteri peperangan dan Direktur Royal Dutch Shell. Dia menentang semua bentuk nasionalisme dan juga tidak ingin melihat Volksraad memainkan peranan penting. Rapat-rapat politik orang Indonesia sering kali dibubarkan oleh pihak polisi dan para pembicaranya ditangkap.
     Penganti de Jonge, Alidius W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouer (1936-1945), sedikit lebih luwes, namun tidak membawa perubahan besar. Menteri urusan Daerah jajahan di Den Haag mulai tahun 1933 sampai tahun 1937 adalah Hendrikus Colijn, orang yang sangat menentang ide-ide Etis dan pernah menjadi Direktur Shell. Maka tidak mengherankan apabila nasionalisme hanya mendapat sedikit kemajuan.Pada tahun 1930-an, Belanda benar-benar menguasai Indonesia dan bertekad untuk tetap begitu.

2.2  Reorientaasi dan Reorganisasi
Bahwasannya penangkapan dan pembuangan tokoh-tokoh nasionalis sebagai pelaksanaan politik keras dan reaksioner pemerintah HB mempunyai dampak kuat pada sifat serta arah perjuangan kaum nasionalis tidak dapat disangsikan lagi. Perjuangan radikal yang hendak dikonfrontasi dengan penguasa kolonial pasti menemui kegagalan oleh karena pihak yang terakhir memiliki prasarana kekerasan. Dalam menghadapi politik tangan besi de Jonge, gerakan nonkooperasi tidak akan menghasilkan sesuatu apapun, dengan adanya berbagai reaksioner, antara lain larangan dadakannya rapat-rapat umum, pengetatan pengawasan polisi rahasia, dan pers pun tidak luput dari pengawasan ketat.
Disamping menghadapi kesulitan ekonomi, politik keras tersebut tidak memberi alternatif lain kecuali mengubah haluan, ialah dari nonkooperasi ke kooperasi, selain dari faktor tersebut, ada faktor historis lain yang turut mempengaruhi perubahan orientasi nasionalis, yaitu konstelasi dunia internasional waktu itu. Dasawarsa tiga puluhan menyaksikan munculnya nazisme atau fasisme di Eropa Tengah yang dalam ekspansinya mendesak kedudukan negara-negara demokrasi di satu pihak, negara komunis di pihak lain.
Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepang dengan pemerintahan militernya menjalankan pula ekspansionisme di daerah Pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi fasisme tidak ada alternatif lain daripada memihak demokrasi. Ada kebersamaan yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial,yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul dulu dari kalangan PI yang mulai mengambil haluan kooperasi.
Dalam konteks politik Eropa Barat bahaya itu nyata sekali sehingga PI menurut prinsip idiologis harus menjalankan politik kooperasi itu.Jadi, bukan semata-mata sekedar soal stretegi atau taktik saja. Sebaliknya dalam arena politik Indonesia secara nyata dirasakan penghambatan terhadap kolonialisme, sedang fasisme dikenalnya secara tidak langsung, sehingga politik kooperasi pada umumnya ditempuh sebagai strategi atau taktik dan bukan soal prinsip ideologi.
Dari kenyataan atau perumusan tujuan orgnisasi-organisasi, baik yang sejak awal bersikap kooperatif maupun yang bersikap nonkooperatif, kesemuanya mengarah pada cita-cita Indonesia merdeka. Meskipun ada perubahan sikap dan taktik namun fokus perjuangan sudah mantap sehingga titik pengarahan kekuatan semakin mantap fungsinya sebagai penggemblengan solidaritas nasional.

2.3  Petisi Soetarjo
Untuk membangkitkan kesadaran nasional serta gerakan-gerakan atau aksi-aksi yang dapat mengkonsolidasi solidaritas dalam dan antar partai. Salah satu titik pengerahan gerakan itu ialah apa yang kemudian dikenal sebagai Petisi Soetarjo. Pada tanggal 15 juli 1936, Soetarjo Kartohadikoesoemo selaku wakil PPBB dalam DR mengajukan usul petisi kepada pemerintah HB agar diselenggarakan suatu komperensi Kerajaan Belanda, dimana dibahas status politik Hindia Belanda dalam sepuluh tahun mendatang, yaitu status otonomi didalam batasab artikel 1 dari UUD Negeri Belanda. Diterangkan bahwa suatu kerja sama antara Indonesia dan Belanda sangat dibutuhkan agar tidak merugikan kedua bela pihak. Semangat itu dapat dihidupkan dengan suatu penyusunan rencana yang matang untuk menentukan hubungan antara Belanda dan HB dalam bidang ekonomi, sosial, kultural dan politik sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak.
Petisi itu juga ditandatangani oleh I.J Kasimo,Ratulangi, Datoek Toemenggoeng, dan Kwo Kwat Tiong. Rumusan petisi itu bernada sangat moderat, yang sungguh mencerminkan tidak hanya jiwa kooperasi tetapi juga sikap hati-hati dengan memakai langkah yang legal, lagi pula tidak keluar dari kerangka konstitusional yang berlaku.Petisiitutidakbersifat revolusioner. Kalaupun hasinya belum kongkret namun konperensi itu sangat bermanfaat untuk penjajangan pendirian pihak masing-masing. Sudah barang tentu petisi itu banyak menimbulkan reaksi baik dikalangan resmi maupun yang tidak resmi, yang keseluruhannya menunjukkan keanekaragamjan corak partai dan pendirian politik tertentu.

2.4  Berbagai sikap terhadap Petisi Soetarjo
Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak setuju dengan petisi itu, maka alasannya bukanlah soal isi petisi tersebut, tetapi seperti yang diajukan oleh Goesti M. Noer ialah caranya mengajukan dengan menengadakan kedua tangan itu. Disamping itu dari Fraksi Nasional ada yang bersikap skeptic akan hasil yang dapat dicapai oleh petisi itu, lagi pula petisi-petisi itu dapat melemahkan usaha-usaha lain yang memperjuangkan otonomi Indonesia.
Dari pihak Belanda, kecuali IEV, pada umumnya tidak dapat diharapkan ada dukungan terhadap petisi itu. EIV menganggap ide Dewan Kerajaan sesuai dengan ide Negeri Belanda Raya yang mencakup bagian daerah-daerahnya. Sebaliknya VC memandang petisi itu terlalu premature serta tidak sesuai, yaitu bahwa dalam bidang ekonomi dan social HB belum cukup berkembang untuk dapat berdiri sendiri.
Partai-partai Kristen, dan CPS, berpendapat bahwa petisi itu diajukan pada waktu yang tidak tepat oleh karena ada masalah-masalah lain yang lebih besar yang sedang dihadapi. Disamping itu dipersoalkan apakah kesatuan dalam lingkungan Pax Neederlandica dapat dipertahankan, antara lain karena perkembangan politiknya belum mantap.
Dalam pemungutan suara di DR akhirnya 26 setujudan 20 melawan, sehingga petisi dapat diteruskan ke Negara Belanda. Dalam pada itu jawaban formal mencakupalasan-alasan sebagai berikut:
1.    Berdasarkan tingkat perkembangan politik di Indonesia petisisangat premature;
2.    Dipersoalkan bagaimana kedudukan minoritas didalam struktur politik baru itu;
3.    Siapakah yang akan memegang kekuasaan nanti;
4.    Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak wajar alamiah, karena pertumbuhan ekonomi, social, dan politik belum memadai.
Buktinyata Kolonial senantiasa menghendaki status quo, setiap perubahan dianggapnya sebagai ancaman sehinggapetisi dianggap terlalu prematur. Perkembangan di bawah pimpinan Belandalah yang dianggap wajar alamiah. Waktu mengajukan petisi itu juga dianggap tidak tepat oleh karena sedang direncanakan reformasi struktur politik administrates sebagai pelaksanaan rencana Colijn, ialah terbentuknya “Negara-negara Pulau”, seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Dengan demikian, penguasa Kolonial hendak memberi pelegitimasian kekuasaannya untuk menjajah di masa mendatang. Meskipun politik etis sedah bangkrut, namun paternalismenya masih berpengaruh sekali.
Penolakan petisi pada umumnya tidak terlalu banyak menimbulkan kekecewaan oleh karena sudah dapat diduga sebelumnya. Adapun salah satu reaksi ialah berupa gagasan Tabrani yang merencanakan agar petisi disebarluaskan dikalangan rakyat yang kemudian didirikan Komite Sentral Petisi Soetarjo. Gagasan itu memperoleh dukungan tidak hanya dari partai-partai dan para pengusul petisi, tetapi juga dari golongan luar, antara lain dari PAI, PM dan lain-lain. Hanya PSII dan PNI tidak mau bergabung oleh karena tidak setuju dengan petisi tersebut. Alasanya ialah bahwa petisi seperti itu membunuh semangat perjuangan bangsa. Sementara itu Gerindo dan Parindra tidak menyetujui tujuan petisi, tetapi setuju dengan penyelenggaraan Komperensi Kerajaan.
Dalam tahun 1938 para pendukung petisi dimana-mana menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk menyatakan dukungannya terhadap petisi itu.
Kekecewaan terhadap penolakan petisi Soetarjo kemudian disusul oleh masalah-masalahlain, diantaranya yaitu:
1.    Tetap adanya mayoritas non pribumi dalam DR;
2.    Tidak dipilihnya orang Indonesia yaitu Djajadiningrat sebagai ketua DR.
Dari kedua fakta itu jelaslah bagi umum bahwa gambaran Belanda mengenai staatkundinge verhoudingen (hubungan dan kedudukan politik atau ketatanegaraan) antara Belanda dan Indonesia tetap tidak berubah. Jadi HB sebagai daerah jajahan dan dipandang belum waktuny auntuk diberi status politik yang lebih mengarah pada penggerasan kekuasaan berdasarkan self-determination. Politik etis dan paternalisme masih benar-benar berpengaruh, sejengkal pun ternyata tidak mau mundur, hal itu tampak jelas sekali dari tanggapan Belanda terhadap beberapa masalah sampai dengan pengaruhnya kepada Jepang.

2.5 Usaha Lebih Lanjut Bagi Pembentukan Badan Persatuan
Dengan kekandasan PPPKI, sesungguhnya ide untuk membentuk badan persatuan tidak padam. Untuk menghadapi tekanan politik dari pihak penguasa kolonial yang sangat kuat, kaum nasionalis belum berasil menciptakan solidaritas yang memadai untuk memupuk persatuan yang utuh dan lengkap. Hal itu disebabkan Karena adanya faksionalisme antar dan dalam organisasi sebagai akibat pluralism masyarakat Indonesia. Dalam pada itu ada faktor-faktor kepribadian yang mempersukar proses integrasi.
Dikalangan organisasi Islam ide kongres Al-Islam ditahun dua puluhan dihidupkan lagi. Di bawah pimpinan H.Mansur kongres itu diselenggarakan oleh MIAI dari tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1938. Dari organisasi non-religius yang hadirialah Parindra dan Taman Siswa. Sesuai dengan sifatnya MIAI dan kongres itu tidak membuat keputusan yang bersifat poitik.
Sementara itu dari berbagai pihak juga dilontarkan ide untuk membentuk persatuan, antara lain dari media massa. Dua partai besar, parindra dan PSII, bersama-sama merencanakan mendirikan badan federasi. Kemudian gerindo dan Pasoen dan ikut serta dalam perundingan. Yang akhirnya pada akhir maret 1938 di Bandung yang dihadiri oleh keempat organisasi tersebut sebagai suatu program untuk menyelenggarakan Kongres Indonesia Raya.
Dalam komperensi berikutnya yang digelar pada tanggal 4 Mei 1938 atas usulan PSII, didirikanlah suatu badan federasi Partai-Partai Politik Indonesia (BAPEPPI). Yang bertujuan memberi wadah bagi kerjasama partai politik Indonesia yang mempunyai cita-cita memajukan Indonesia. Namun, nasib badan ini menyedihkan, yang mana dalam prosedur pendirianya saja telah menimbulkan kontroversi, yang mana dari kontroversi tersebut menjadi alasan organisasi lain tidak enggan untuk masuk. Seperti Gerindo yang tidak jadi masuk dan Parindra yang menjadi sangat pasif.

2.6  GabunganPolitik Indonesia (GAPI)
Munculnya inisiatif Thamrin yang sebagai tokoh Parindra untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Melihat gelegat internasional yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan langsung Indonesia dalan perang, maka pembentukan badan seperti itu terasa sangat mendesak, antara lain untuk memupuk rasa saling menghargai serta kerja sama untuk membela kepentingan rakyat. Dalam rapatnya tanggal 19 Maret 1939 usul Thamrin disetujui. Dari luar Parindra pada umumnya tanggapan terhadap ide itu sangat positif. Dikalangan PSII ada yang setuju yaitu Sukiman dan ada yang keberatan, antara lain Abikoesno. Faktor lain yang agak menghambat ialah ketidak populeran beberapa tokoh, seperti H.A Salim dan Moh. Yamin dari Gerindo.
Dua bulan kemudian, 21 Mei 1939, panitia persiapan menyelenggarakan rapat umum di Gedung Permufakatan, Gang Kenari, Jakarta. Hadir pada waktu itu O. Bratakoesoema, Soeradiredja, Atik Soeardi, ketiganya dari Pasoendan, Thamrin, Soekardjo Wirjopranoto (Parindra), Abikoesno, Sjahboedin Latif (PSII), H. Mansoer dan Wiwoho (PII), Ratulangi, Sjarifoedin, Wilopo (Gerindo).
Diterangkan oleh Thamrin, bahwa tujuannya ialah membentuk suatu badan persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaannya tiap-tiap organisasi tetap bebas untuk melakukan programnya sendiri. Parindra mengambil inisiatif itu tidaklah untuk memperoleh kehormatan, namun semata-mata terdorong oleh keadaan mendesak sehubungan dengan situasi internasional.
Dalam rapat itu pendirian GAPI disetujui dan diresmikan. Menurut anggaran dasarnya tujuan badan itu ialah mengusahakan kerja sama antara partai-partai politik Indonesia serta menjalankan aksi bersama. Adapun asasnya ialah penentuan nasib sendiri, kesatuan dan persatuan nasional serta demokrasi dalam segi politik, sosial, dan ekonomi. Direncanakan untuk menyelenggarakan Kongres Rakyat. Pada umumnya tanggapan masyarakat baik terhadap lahirnya GAPI yang mempunyai tujuan, bukan seperti yang diperjuangkan PPPKI yaitu kemerdekaan Indonesia, melainkan kenyataannya hanya merupakan kerja sama antara partai-partai politik Indonesia.
Sementara itu ada kelompok lain yang berusaha membentuk badan persatuan, yang antara lain diprakarsai oleh Moh. Yamin, Rasjid dan Tadjoiddin Noer. Mereka merasakan bahwa dalam perkembangan politik dilingkungan Dewan Rakyat dan diluarnya, daerah-daerah luar Jawa kurang mendapat perhatian, maka untuk memperjuangkan kepentingan daerah-daerah itu dibentuk badan yang disebut Golongan Nasional Indonesia (GNI) pada 10 Juli 1939. Badan ini di dalam lingkungan Dewan Rakyat disebut Indonesische Nationalistische Group (Golongan Nasional Indonesia) yang berdiri di samping Natonale Fractie. Mengenai peristiwa ini ada tanggapan-tanggapan yang setengahnya mencap tindakan itu sebagai usaha meningkatkan perjuangan nasional, tetapi setengahnya menganggap tindakan itu sebagai pemecahbelahan dan akan memperlemah perjuangan.
Dalam kegiatan lebih lanjut baru akan terbukti mana yang mampu melaksanakan programnya. Salah satu usaha GAPI yang diselenggarakan melalui wakil-wakilnya setempat ialah Aksi Parlemen.
2.7 Aksi GAPI “Indonesia Berparlemen”
Pelaksanaan program GAPI secara kongkret terwujud dalam rapatnya pada 4 Juli 1939. Diputuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib bangsa Indonesia sendiri serta kesatuan dan persatuan Indonesia.
Sebelum aksi dapat dilancarkan secara besar-besaran, pada tanggal 9 September 1939 sampailah kabar bahwa Perang Dunia II telah pecah. Dalam pernyataanya pada 19 September, GAPI menyerukan agar dalam keadaan penuh bahaya dapat dibina hubungan dan kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda dan Indonesia. Diharapkan agar Belanda memperhatikan aspirasi rakyat Indonesia untuk membentuk pemerintahan sendiri dengan diberikan suatu perwakilan rakyatnya. Apabila Belanda memenuhi kinginan itu maka GAPI akan mengerahkan rakyat untuk memberi bantuan sekuat tenaga kepada Belanda.
Golongan progresif Belanda (Kritiek en Opbouw) menyerukan kepada pemerintah Belanda agar loyalitas yang tertera dalam pernyataan GAPI ditanggapi secara positif dengan memenuhi keinginannya. Sebaliknya ada suara-suara yang memandang peryataan GAPI itu semata-mata sebagai suatu chantage (pemerasaan) dengan mengambil kesempatan sewaktu Belanda ada dalam kesulitan.
Manifestasi pertama dari aksi GAPI ialah rapat umum yang diselengarakan di Jakarta pada 1 Oktober 1939. Dalam bulan itu juga (23 Oktober) di Sala diselengarakan Konperensi PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri) yang mendukung sepenuhnya aksi itu.
Sementara itu terjadilah hal yang tidak terduga sama sekali ialah tindakan GNI untuk menyampaikan petisi kepada Badan Perwakilan Belanda (staten-generaal) untuk memberi suatu parlemen kepada Indonesia. Terlepas dari motivasi sesungguhnya yang ada dibelakang petisi itu, tindakan itu pada umumnya dianggap sangat merugikan perjuangan kesatuan dan persatuan Indonesia. Persaingan politik seperti itu menguntungkan pihak Belanda, oleh karena perpecahan di kalangan kaum nasionalis hanya akan memperlemah perjuanganya saja. Memang peristiwa itu menimbulkan keresahan dan kericuhan di kalangan kaum nasionalis, ada kekhawatiran bahwa gerakan nasionalis akan tidak berdaya sama sekali.
Meskipun demikian GAPI bertekad meneruskan aksinya, dianjurkan agar dimana-mana diadakan rapat cabang salah-satu anggota GAPI dalam rangka aksi “Indonesia Berparlemen” itu.
Kemudian GAPI mengambil langkah-langkah untuk menggerakkan cabang-cabang anggotanya, baik di Jawa maupun di luar Jawa, untuk membentuk panitia setempat guna mempartisipasi dalam gerakan “Indonesia Berparlemen”. Pada pertengahan bulan Desember 1939 dimana-mana diselenggarakan rapat demonstrasi, salah satu puncak aksi itu ialah terselenggaranya rapat GAPI yang meresmikan Kongres Rakyat Indonesia. Tujuanya ialah meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Diputuskan untuk meneruskan gerakan “Indonesia Berparlemen” serta menyadarkan rakyat akan pentingnya tujuan pembentukan tata negara demokratis di Indonesia. Selanjutnya dibentuk panitia untuk menyusun rencana program KRI, yang terdiri atas wakil-wakil dari GAPI, PERDI, PVPN, dan Istri Indonesia. Kemudian disetujui bersama untuk menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bendera merah-putih sebagai bendera nasional, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu nasional. Keputusan kongres yang paling penting ialah bahwa gerakan “Indonesia Berparlemen” perlu di teruskan sebagai badan eksekutif KRI.
Permasalahan timbul sekitar pertanyaan dari PPPI ialah tindakan apakah yang akan dilakukan oleh GAPI kalau permintaan itu ditolak oleh pemerintah Belanda. Menurut PPPI seharusnya semua anggota perwakilan minta berhenti. Isu itu agak mengeruhkan suasana dan akhirnya PPPI meninggalkan sidang.
Pada umumnya usul itu tidak dapat diterima, khususnya dikalangan GAPI, tidak lain karena karena tindakan itu akan dicap secara kerasdapat diduga bahwa tanggapan pihak perintah Belanda tidak positif.
Sebagai reaksi terhadap gerakan itu pemerintah HB memperketat pengawasannya terhadap rapat-rapat kaum nasionalis. Tidak sedikit rapat yang diselenggarakan, antara lain di Sumatra Utara.
Thamrin mengajukan masalah pembubaran rapat-rapat dimana-mana dalam DR dengan mengajukan pertanyaan apakah alasannya untuk bertindak demikian, meskipun sebenarnya gerakan nasionalis dipandang oleh pihak pemerintah jauh lebih moderat daripada sebelum tahun 1937.
Pada awal Februari datanglah jawaban dari Mentri Welter selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi “Indonesia Berparlemen”. Diakui bahwa adalah hal yang wajar dan sah apabila menurut perkembangan masyarakat, baik dalam bidang materiel maupun spiritual, akan muncul kecakapan dan kegairahan dalam masyarakat itu untuk memegang peranan dalam kerangka kelembagaan politik yang pada saat itu ada. Ditambahkan bahwa selama status politik dewasa ini masih berlaku, yaitu tanggung jawab ketatanegaraan yang ada pada pemerintah Belanda atas HB, maka tidak mungkin permintaan gerakan tersebut dipenuhi.
Sudah barang tentu penolakan itu menimbulkan kekecewaan di mana-mana. Alasan bahwa bangsa Indonesia belum masak adalah hal yang klasik, meskipun menurut tanggapan waktu itu justru adanya parlemen akan menjadi alat untuk memasakkan rakyat.
Kesimpulan yang diambil bahwa jalan yang ditempuh oleh gerakan ialah berpaling kepada rakyat. Dalam rapatnya tanggal 23 Februari 1940 GAPI menganjurkan pendirian Panitia Parlemen Indonesia untuk meneruskan aksi “Indonesia Berparlemen”. Segera keputusan itu mendapat dukungan dari Pasoedan, Parindra, PSII, dan lain-lain. Kesempatan bergerak ternyata tidak ada lagi bagi GAPI oleh karena pada awal Mei 1940, negeri Belanda diduduki Jerman dan pecahlah perang.








BAB 3 PENUTUP


3.1 SIMPULAN
            Pada awal tahun 1930-an, keadaan ekonomi di Indonesi semakin memburuk karena krisis dunia yang tak reda-reda. Ekonomi yang di dalamnya bangsa Indonesia hidup tiba-tiba berubah karena depresi ekonomi yang melanda dunia. Akibatnya, harga beberapa produk Indonesia menjadi menurun, terjadinya pengurangan kerja, serta pemotongan gaji. Dampak krisis ini terhadap bangsa Indonesia jelas sangat serius dan menjadi suatu bencana bagi ekonomi bangsa Indonesia.
Namun, bukan hanya dalam bidang ekonomi, dalam bidang politik pun demikian. Karena pemerintah Belanda benar-benar telah condong kekanan. Lebih-lebih saat Bonifacius C. De Jong menjabat sebagai gubernur jendral. Dia menentang semua bentuk nasionalisme dan juga tidak inggin melihat Volksraad memainkan peranan penting. Rapat-rapat politik orang Indonesia sering kali dibubarkan oleh pihak polisi dan para pembicaranya ditangkap. Dalam lingkungan seperti ini, maka tidak mengherankan apabila nasionalisme hanya mendapat sedikit kemajuan.
Pada tahun 1930-an, Belanda benar-benar menguasai Indonesia dan bertekad untuk tetap begitu. Dari kenyataan atau perumusan tujuan organisasi-organisasi, baik yang sejak awal bersikap kooperatif maupun yang semula bersikap nonkooperatif, kesemuanya mengarah pada cita-cita Indonesia merdeka. Meskipun ada perubahan sikap dan taktik namun fokus perjuangan sudah mantap sehingga titik pengerahan kekuatan semakin mantap fungsinya sebagai penggemblengan solidaritas nasional.







DAFTAR PUSTAKA


Kartodirjo, Sartono. 1990.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Pringgodigdo, A. K. 1950. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
http://pendidikansejarah2012.blogspot.com/2014/03/nasionalisme.html